Bab 9. Dipatuk Ular

69 4 1
                                    

Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya.

“Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru.

“Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar.

Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu ia sobek menggunakan ranting tajam, lalu melilitkannya pada bagian betis Nina.

Sebisa mungkin, bisa ular itu dicegahnya agar tidak menyebar melalui pembuluh darah. Kondisi Nina semakin parah. Bocah perempuan itu mulai tidak sadarkan diri. “Ayo, Kak, cepat!” seru Rangga mulai panik.

Bocah lelaki yang biasanya tampak tenang itu kini menekuk wajah. Alis tebal saling bertaut, gigi putih yang tampak rapi itu terdengar bergemeletuk. Amanda hendak memangku Nina, dengan sigap tangan kurus Rangga menahannya. “Biar aku saja yang gendong Nina. Kakak jaga aku di belakang, ya,” usulnya.

Bocah sembilan tahun itu meminta Amanda untuk menaruh Nina di punggung kecilnya. Amanda merasa tidak yakin, dengan perasaan harap-harap cemas menatap lekat kedua bola mata cokelat terang adiknya, Rangga. “Dek, yakin kamu kuat? Perjalanan ke desa masih jauh, loh. Sini, biar kakak aja yang gendong adek.” Tangannya sudah bersiap untuk meraih tubuh Nina.

“Kak Manda tenang aja. Aku kuat, kok. Aku kan, laki-laki. Kakak cukup jagain aku aja di belakang, takutnya ada hewan buas nanti,” kata Rangga meyakinkan.

Tangan mungil Nina tampak terulur ke depan, sementara kedua kakinya digenggam erat oleh Rangga. Bocah laki-laki yang suka berburu itu menahan tangis karena tubuh Nina terasa panas. Hutan belukar dilaluinya dengan semangat membara, menerjang batu dan akar-akar panjang yang timbul di tanah.

Untuk menuju desa, Amanda dan Rangga harus menyeberangi sungai yang arusnya deras sekali. Banyak berbatuan besar di sungai berair keruh itu. Gemuruh air terdengar sangat kencang. Perjalanan mereka masih membutuhkan waktu kurang lebih selama satu jam.

“Dek, sini biar kakak saja yang gendong Nina. Kamu tuntun kakak di depan, ya. Arusnya deras banget soalnya,” pinta Amanda lemah lembut. Tangan kurus berkulit kuning langsat itu meraih tubuh mungil Nina dalam gendongan Rangga, membuat bocah laki-laki itu berbalik menatapnya.

“Tapi, Kak—“

“Tolong sekali ini saja. Kakak gak mau kamu kenapa-kenapa. Lihat sungai itu! Tubuh kamu terlalu kecil untuk membawa Nina dengan arus sederas itu. Kamu gak mau, kan, bikin kakak khawatir?” Manik hitam meneduhkan Amanda tampak berkaca-kaca, membuat Rangga tidak dapat berkata-kata.

“Nina sakit karena kita meninggalkannya sendirian tadi. Andai kakak gak lengah, mungkin aja Nina masih baik-baik aja. Kali ini saja, tolong ... jangan membuat kakak semakin merasa bersalah.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulut Amanda penuh penekanan, meski suaranya terdengar lirih.

Mata lentik itu berkedip beberapa kali, guna mengusir embun agar tak menghalangi pandangannya. Rangga tidak menjawab, bocah laki-laki itu memilih diam lalu mengangguk pasrah. Takut semakin membuat sang kakak marah. Padahal, dalam hatinya ia hanya ingin membantu, agar kehadirannya sedikit berguna untuk Amanda.

Amanda membopong tubuh Nina, dengan erat ia berusaha melawan arus air. Rangga sudah berenang terlebih dahulu ke tepian, tubuhnya terlalu ringan jika berjalan di atas air. Sehingga, mudah baginya diterjang arus.

“Aww!” ringis Manda saat tidak sengaja menginjak batu runcing.

Napas perempuan cantik itu terengah-engah, sedikit lelah setelah berjalan menyeberangi sungai yang lebarnya lima meter itu. Andai curah hujan tak selalu turun mengguyur hutan, mungkin arus air akan sedikit bersahabat. Mata Rangga awas memindai kaki kakaknya yang berdarah.

“Sini, Kak. Biar aku saja yang gendong adek,” pintanya. Amanda mengangguk pasrah. Karena batu kerikil  membuat kakinya semakin terasa perih.

***

“Bapak, Ibu, tolong adik saya. Adik saya habis dipatuk ular. Dia saat ini sangat butuh pertolongan kalian,” mohon Amanda sesampainya di desa. Ia terus saja menyambangi rumah warga satu per satu, dengan mata berkaca-kaca memohon belas kasih.

Banyak pasang mata yang hanya diam memperhatikan. Melihat wajah cantik Amanda yang terlihat menggoda, tak peduli jika ia sedang kesusahan atau tidak. Bagi mereka, raungan Amanda bagai tontonan yang memilukan.

Orang-orang hanya berpikir, bagaimana hendak menolong? Sedangkan mereka saja tak mengenal perempuan cantik itu. Mereka hanya tahu jika Amanda dan dua adiknya sudah hidup bertahun-tahun di hutan pedalaman.

“Hai, Cantik. Malang sekali nasibmu. Kalau menginginkan pertolongan secara cuma-cuma, bukan di sini tempatnya.” Seorang lelaki berbadan besar menghadang langkah mereka.

Gegas tubuh Amanda menghalau Rangga di belakang. Ia memasang tubuhnya sendiri sebagai tameng. “A-apa mau kalian?” tanyanya gelagapan.

Tangan kekar hitam itu dengan lancang mencolek dagu lancip Amanda, lantas terkekeh sinis dengan pandangan menggoda. “Hei, Cantik. Kamu butuh pertolongan, ‘kan? Baiklah, akan kami tolong.” Seringai licik perlahan terbit.

“Sungguh?” Mata indah itu tampak berbinar, dengan antusias Amanda menyambutnya.

“Iya. Tapi dengan satu syarat.” Lelaki bertubuh jangkung besar itu mengacungkan jari telunjuk di udara. Tentu saja. Pertolongan yang akan mereka berikan tidak secara cuma-cuma.

“A-apa itu?” Perasaan Amanda mulai tidak enak. Ia merasakan sebuah sinyal pertanda bahaya.

“Berikan aku tubuhmu. Maka adikmu akan selamat,” bisik lelaki jelek itu tepat di telinga Amanda.

Tubuh perempuan cantik itu menegang seketika. Sumpah demi apa ia harus memberikan tubuhnya secara cuma-cuma pada lelaki jangkung berperawakan besar seperti mereka? Ia bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi. “Maaf sudah mengganggu waktu kalian. Kalau begitu, saya permisi.”

Akan tetapi, jika mangsa sudah memasuki kandang buaya, tentu akan sulit untuk melepaskan diri, bukan? Lelaki itu tak ubahnya seperti buaya kelaparan. Tangannya membentang, tidak memberikan Amanda jalan. Sementara dua lainnya membentuk formasi, gadis itu dikepung oleh tiga pria berbadan kekar dan tinggi.

“Hey, jangan macam-macam kamu!”

Gadis itu menggigit bibir bagian bawah. Ekor matanya melirik Rangga yang berdiri di belakangnya. Berani sekali bocah itu, sehingga menantang tiga preman di sekitarnya. “Dek, tolong tutup mulutmu jika tidak ingin mati di tangan mereka,” cicit Amanda cemas.

“Bukan aku, Kak,” sahut Rangga datar.

Amanda terperangah. Jika bukan Rangga, lantas siapa? Gadis itu memejam seraya merutuk di dalam hati. Gawat!

Bersambung!

Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang