Lily

60 5 2
                                    

Derasnya hujan membuat bunga camelia merah muda yang terjuntai di luar jendela tampak basah kuyup. Kelopaknya terkulai lemas tak berdaya oleh guyuran hujan. Nora dan Lily terdiam, asyik mengamati bunga itu. Tiupan angin sesekali membuat tanaman itu terayun-ayun menyentuh jendela. Hujan juga membuat Jalanan semakin lengang, hanya sesekali kendaraan melintas atau pejalan kaki yang yang berjalan tergesa-gesa.

"Tau, nggak, camelia berasal dari mana?" Nora memecah kesunyian.

"Prancis atau mungkin Cina?" jawab Lily tidak yakin. "Menurutmu dari mana?"

"Cina," ujar Nora. "Bahkan camelia bukan sekedar bunga biasa, ia dianggap memiliki filosofi tentang percintaan."

"Kalau itu aku pernah dengar." Lily menjeda kalimatnya, terlihat sedang berpikir mengingat-ingat sesuatu. "Kata orang, camelia dianggap sebagai simbol penyatuan sepasang kekasih. Juga melambangkan cinta abadi. Aku benar, kan?"

"Betul, manis banget ya," seru Nora.

keduanya lalu tertawa.

"Kamu pernah terima camelia dari seorang cowok?" tanya Nora.

"Ha...ha..., sayangnya belum. Sebagian besar hanya ingin 'One night stand' tanpa camelia," jawab Lily santai. "Kamu gimana?"

"Aku lebih pilih mawar merah. Pernah ada yang memberi, sudah lama. Tapi, sekarang sudah jadi fosil."

Keduanya kembali tertawa. Bahkan terdengar cukup keras hingga dua lelaki yang duduk tak jauh dari mereka berpaling dan tersenyum melihat keakraban Nora dan Lily.

"Oops...sepertinya kita akan segera menerima camelia atau mawar," Ujar Lily sambil mengedipkan mata birunya. Nora tersenyum membalasnya.

"Menurutmu apa yang beda dari Paris ketika hujan?"

"Lengang, sepi. Seperti seorang gadis cantik yang kesepian...,"

"Seperti aku, kan?" tukas Lily sambil mengarahkan telunjuk ke wajahnya.

"Persis. Gadis kesepian yang menyukai coklat panas," ujar Nora lalu nyengir.

"... dan Camelia," Lily menambahkan.

"Ha...ha...ha..."

Santè! Lalu keduanya menyeruput minuman masing-masing.

"Nora, dulu aku suka hujan."

"Oh ya?"

"Tiap kali hujan, Ibuku selalu bercerita tentang Putri Bulan." Lily menarik nafas lalu menghembuskannya.

"Terdengar menarik, mau cerita?" tanya Nora.

Lily mengangguk kemudian menenggak coklat panasnya. "Pada zaman dahulu, bulan dihuni oleh sepasang kekasih bernama Putri Bulan dan Pangeran Matahari. Pada suatu hari, pangeran Matahari meninggalkan sang Putri sendirian hingga kesepian. Tiap hari ia menangis karena rindu bertemu dengan sang Pangeran."

"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Nora dengan wajah penasaran.

"Air mata sang Putri ternyata menjadi hujan di bumi," Lily menjelaskan sambil menatap ke arah luar jendela.

"Tapi, yang menarik buatku justru bukan dongengnya. Cara Ibuku bercerita dan momen bersamanya yang membuat cerita ini melekat dalam diriku."

"Lalu, hujan hari ini? Apakah karena Putri Bulan masih meratapi kekasihnya?" 

"Mungkin..., karena aku tumbuh dengan cerita dongeng semacam itu. Bahkan dulu aku percaya ketika ibuku masih hidup. Tapi, sekarang jujur aku nggak peduli." Ia mengangkat bahunya dan melempar pandangan ke arah dinding berwarna biru tosca. Sekilas, Nora melihat ada raut sedih di wajah perempuan itu.

"... Sejak Ibuku meninggal, banyak hal yang berubah termasuk cerita tentang Putri Bulan dan hujan. Satu-satunya yang membuatku terhubung dengan cerita itu saat ini adalah sepi. Aku bisa merasakan perasaan si Putri Bulan."

Nora menghela napas. "Lily, aku turut bersedih atas kepergian Ibumu, aku yakin beliau tersenyum melihat kamu saat ini. Cantik dan menawan."

Nora Menggenggam tangan Lily menguatkan perempuan itu.

"Tema ini sepertinya nggak cocok dibahas di tengah hujan, terlalu melankolis." 

Nora berusaha menghibur. Lily tertawa dan kembali ceria seperti awal mereka bertemu.

Cafe Maison Sauvage semakin ramai. Alunan musik bersaing dengan obrolan pengunjung yang memadati bagian dalam kafe. Terdengar sangat riuh dan tumpang tindih. Sesekali tawa terdengar di sana-sini. Denting piring dan sendok juga sesekali terdengar. Sangat kontras dengan pemandangan di luar yang sepi.

Seorang perempuan bertubuh tinggi mengenakan kerudung baru saja memasuki kafe dan membuka mantelnya yang basah lalu menggantungnya di sampiran tak jauh dari pintu. Mata coklatnya mengawasi seisi ruangan sambil mencari kursi kosong. Tampak raut kecewa di wajahnya. Pengunjung yang padat membuatnya tak berhasil menemukan satu pun kursi tak berpenghuni. Ia terus celingukan, masih berusaha mencari. Sesaat sebelum ia memutuskan keluar, seorang perempuan berambut merah melambaikan tangan ke arahnya.

Ia melangkah ragu ke arah dua perempuan yang duduk di dekat jendela itu.

"Halo, aku boleh bergabung di sini?" sapa perempuan berkerudung putih itu.

"Silakan," ujar perempuan berambut coklat dengan ramah.

"Terima kasih. Oh iya, aku Ruby," ujarnya memperkenalkan diri sambil menatap ke arah dua perempuan itu.

"Aku Lily dan dia Nora."

Ruby duduk dan meletakkan tasnya di samping kursi berwarna hijau.

"Kamu terlihat cantik dengan...."

"Maksudmu kerudung ini?" tanya Ruby menimpali kalimat Nora.

"Iya."

"Terima kasih. Aku baru sebulan ini memakainya." Ruby mengusap  kerudungnya sambil tersenyum canggung.

(Bersambung)

Paris, Rain and StrangersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang