lomba

3 1 0
                                    

hmm...
ini bukan puisi kaya biasanya, ini lebih seperti aku ingin membicarakannya secara lugas.

Saat itu matahari begitu terik, seperti akan membakarku dan sinarnya menembus jaketku yang tebal, tapi percayalah karna itu aku jadi makin bersemangat. Aku bukan orang yang begitu senang berkompetisi, kurang suka akan perhatian dan sorak sorai. Tapi baru saat itu aku merasa harus menang. Sepele memang tapi dampaknya aku ingat sampai sekarang.

Mari baca dengan perlahan, dan perhatikan. Aku dalam posisi berlutut dengan tangan diikat dibelakang, aku melepaskan kacamataku agar tidak rusak karna berbentur ataupun tidak menyakiti diriku dan tentu orang lain. Didepanku sudah ada sewadah tepung yang didalamnya terdapat beberapa koin pecahan dari seratus rupiah sampai seribu rupiah. Kau tau pasti nama permainan ini jika sekolahmu pernah mengadakan lomba 17-an.

Saat pluit itu dibunyikan semua sorak sorai itu makin menjadi, seseorang dari kelasku duduk dibelakangku memegang sebuah gelas plastik untuk koinnya nanti, dan dia juga yang meneriakiku soal ada dimana koin itu.

Baru saat itu aku mengangkat tangaku sendiri untuk mengikuti sebuah lomba yang tidak begitu penting menurutku. Lalu saat itu dengan sangat bersemangat aku menunduk, memasukkan mukaku kedalam sama, berlomba dengan beberapa siswi lainnya untuk mencari koin sebanyak-banyaknya.

Mataku sudah tidak karuan, aku sudah tidak bisa membukanya, kudorong badanku kedepan seakan mengatakan bahwa aku yang akan mengambil semua koinnya, bahkan sampai kepalaku membentur kepala peserta lainnya sampai mereka meringis, ya begitulah ketika aku bersemangat, akan kulakukan segala cara agar menang. Dan aku begitu yakin akan kemenangan itu.

Mulutku sudah penuh dengan tepung yang memiliki rasa hambar dan berbau gandum itu. Ah, rasanya ingin muntah saat itu juga, tapi aku tetap ingin menang, karna aku yang mengangkat tanganku sendiri saat itu, aku tidak bisa kalah begitu saja. Dapatkan koin sebanyak mungkin.

Hidungku sudah sulit untuk bernafas, karna setiap menarik nafas tepung itu ikut masuk, saat menghembuskan nafas, tepung itu ikut berhamburan. Ah sial aku begitu tidak karuan.

Lalu pluit selanjutnya ditiup, aku berdiri dengan tergesa, ah sial aku tidak bisa melihat apa pun. Mual sekali rasanya ketika semua yg bisa kuhirup dan rasakan hanyalah tepung, tepung, dan tepung.

Lalu temanku yang lain menuntunku untuk menyingkir sebentar, lalu menuangkan segayung air untuk aku mencuci muka, sedikit lega rasanya. Aku lap muka pada bagian baju yang agaknya masih bersih, lalu memakai kembali kacamataku seperti semula.

Aku ikut menghitung koin itu. Satu, dua, tiga, empat, dan sampai akhirnya jumlah koin yang aku dapat lebih dari 30 koin, artinya aku pasti menang, karna koin yang disediakan hanya 60 sedangkan yang mengikuti lomba dalam satu ronde adalah 4 orang. Aku semakin yakin.

Namun setelah pengumuman pemenang diumumkan. Semuanya sirna, seolah pengorbananku sia-sia. Ya memang tidak seberapa, tapi bagi orang sepertiku hal itu sangat menguras tenaga dan pikiran.

Lihatlah betapa orang lain begitu meremehkan perjuanganku, dia orang yang berlagak jadi pemimpin, tapi membuat dirinya bersemangat sedikit pun tidak bisa, dia orang yang berlagak paling hebat, sialan.

Hanya karna aku bukan teman dekatnya, hanya karna rupaku tidak sebaik pacarnya, hanya karna aku tidak sepintar sahabatanya, dengan seenak hati dia berbuat seperti itu. Tersenyum tanpa dosa, memamerkan ketidak bisaannya, dan membuatku malu karna berjuang. Dan sialnya semua tidak peduli akan pencapaianku. Memang tidak seberapa, tapi setidaknya beri aku kata maaf karna berbuat sepele.

Tapi itu juga salahku, karna berjuang sendirian, dan salahnya lagi karna aku  mempercayakan orang lain.

Cerita ini tidak begitu penting. Tapi kuharap diluar sana masih banyak orang yang bisa saling menghargai dan tidak begitu mudah mempercayakan kebahagiaannya pada orang lain. Terimakasih.

Sajak Tak BeriramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang