Lingka merasakan tubuhnya yang bergoncang. Lingka pikir merapi kembali meletus kemudian menimbulkan guncangan di tubuhnya, tapi bukan karena Lingka juga tidak berharap kalau gunung aktif itu akan kembali meletus. Jadi, untuk memastikannya Lingka memilih membuka kedua matanya lantas menemukan sosok Rusmi yang berdiri dengan celemek yang biasanya dipakai setiap hari ketika memasak dan berjualan.
"Tangi nduk, wes awan. Ketinggalan bis nanti kamu." Belum puas hanya melihat kedua kelopak mata anak gadisnya terbuka setengah, Rusmi kembali mengguncang. Tak peduli kalau warungnya kosong melompong kalau-kalau ada pembeli, keadaan anaknya jauh lebih penting dari warung yang dibiarkan kosong.
Mendengar kata 'ketinggalan bis' nyawa yang tadinya baru terkumpul seperempat dari diri Lingka tiba-tiba langsung tersentak masuk menyadarkan Lingka. Membuat gadis itu spontan bangkit. Matanya melirik jam berwarna abu-abu hasil pemberian Pak Dali-tukang reparasi depan gang-menunjukkan pukul enam kelewat.
Sial. Bis paginya pasti sudah melaju. Dalam hati Lingka mengutuk dirinya yang semalam begadang mempersiapkan ulangan sampai membuatnya bangun kesiangan, bukan hal baru sebenarnya. Kadang kala Lingka sering mengalami hal ini, tapi bukan berati selalu. Hanya waktu tertentu dengan alasan belajar. Itu kenyataan, Lingka terlalu Menyortir tenaganya.
Kalau bukan karena berusaha mempertahankan nilai, mana mungkin Lingka melakukan hal ini. Sekolah menuntutnya agar terus bertahan-bisa sekolah karena biaya siswa itu enak tidak enak. Enaknya kita bersekolah tak perlu memikirkan biaya tidak enaknya otak kita harus berusaha mati-matian mempertahankan nilai.
Itu melelahkan, tapi harus Lingka lakukan. "Udah ketinggalan Bis Bu," gumam Lingka.
Rusmi mengusap surai kusut Lingka, merasa bersalah lantaran lupa tak membangunkan putrinya, pesanan milik tetangga sebelah membuat Rusmi lupa, sibuk berkutat dengan wajan sejak sehabis subuh tadi.
"Yaudah nanti naik ojeg aja." Lingka mengangguk saja. Mau bagaimana lagi, meskipun kalau naik ojek itu artinya akan tambah budget berkali-kali lipat lebih malah daripada naik bis.
Rusmi memutuskan untuk hengkang dari kamar sempit anaknya, sedangkan Lingka bangkit setengah malas. Tak butuh waktu lama bagi Lingka menyelesaikan aktivitasnya. Masih dengan penampilan yang sama-rambut panjang tergerai tak tersisir-seolah sudah menjadi style paten seorang Lingka.
"Hati-hati di jalan." Rusmi berteriak begitu Lingka berjalan membelah gang sempit di rumahnya. Tak cukup jauh untuk Lingka berjalan sampai ke jalan yang cukup besar, Cuma butuh beberapa menit saja Lingka kini sudah berhenti di depan gang masuk rumahnya.
Kepala gadis itu berulang kali menoleh, kemudian berjalan mencari di mana tukang ojek yang biasanya mangkal dekat jalan masuk, tapi sepertinya dijaman sekarang mencari ojek offline itu kian susah. Kebanyakan yang Lingka lihat hanya jajaran tukang ojek berjaket hijau. Sial, dan Lingka sama sekali tidak punya aplikasi untuk sekedar memesan.
Jangankan aplikasi, kuota internet saja Lingka tidak punya. Punya, hanya saja Cuma bisa untuk whatsapp dan Facebook. Itu sangat tidak efektif bagi orang-orang modern, tapi bagi Lingka itu efektif. Ia tak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk kuota. Cukup bisa berkomunikasi dengan whatsapp saja sudah cukup, karena Lingka juga bukan manusia purba yang tidak tau teknologi.
Kembali pada kenyatan, melihat jam yang ada pada ponselnya. Lingka mengerutkan kening gelisah. Waktu semakin bertambah dan dirinya sama sekali tidak ada kemajuan untuk sampai ke sekolah.
Padahal ada ulangan hari ini. Kalau Lingka sampai tidak berangkat habislah dirinya, semalaman belajar mati-matian namun, sama sekali tak menghasilkan.
Lingka mengembuskan napa pelan. Kakinya menuntun berjalan menuju halte dengan mata yang mencari-cari tukang ojek offline mangkal, tapi bahkan saat Lingka sampai di halte kedua matanya sama sekali tak menemukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Teen Fiction[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...