Bab Dua Belas-Menggali Masa Lalu

6 2 0
                                    

"Ponsel seperti itu masih kau gunakan, Shiafanya?"

Aku menghentikan gerakan tanganku dan menahan diri agar tidak melempar lem ke wajah bos. Mood-ku untuk memperbaiki ponsel tercinta hancur gara-gara perkataan bos.

"Ponsel ini lebih dulu ada daripada punya bos. Ponselku ini sesepuh dari para ponsel." Aku mengangkat benda yang dimaksud di tangan kananku.

"Ini untukmu." Bos merogoh saku celananya, lalu menjelalkan ponsel ke sebelah tanganku yang bebas.

Aku terpelongo melihat ponsel yang sama dengan yang aku tinggal di rumah, yang dibelikan Papa. "T-Tapi bos, ini ̶ " Aku meletakkan ponsel yang diberikan bos di atas meja, aku takut memegangnya.

"Keluarkan SIM card dari ponsel lamamu." Bos menengadahkan tangan.

"Untuk apa bos?"

"Kita harus memasukkan SIM card-mu ke ponsel baru."

Bos mengambil paksa ponselku, sejurus kemudian bos terdiam, lalu menatapku dengan mata yang memicing.

"Kau mengelem semua bagian ponsel termasuk baterainya?"

Kalau sudah tahu jawabannya untuk apalagi ditanyakan. Aku khawatir ponselku jatuh berserakan lagi, jadi untuk mengantisipasi aku melakukan itu.

Tanpa meminta izin, bos membongkar ponsel dengan cara membantingnya ke lantai. Andai dia bukan bosku, pasti aku sudah melemparnya dengan lem sejak tadi.

"Kau tidak perlu marah. Aku kan sudah menggantinya dengan yang baru." Bos menunjuk benda yang dia maksud dengan dagu.

Aku terduduk lemas di atas karpet, menyaksikan ponsel yang telah menemaniku bertahun-tahun dalam proses penghancuran. Bos dengan sabar membuka bagian belakang dan mengeluarkan SIM card yang untungnya tidak dilem.

Aku hanya bisa terdiam memerhatikan bos perlahan memasukkan SIM card ke ponsel baru. Pandanganku teralih pada ponsel lama yang hancur berantakan, hatiku terasa sakit.

"Dari raut wajahmu, kau terlihat tidak senang?"

"Iya," kataku jujur.

"Ada saatnya, yang lama harus diganti dengan yang baru."

Aku tidak mau mendengarnya, kepalaku menunduk sampai dahiku menyentuh ujung meja.

"Tidak usah bersedih seperti itu. Sebentar lagi Meiliani datang ke sini."

"Bos jangan bohong," ujarku malas-malasan.

"Memangnya, apa untungnya bohong padamu?" Nada bicaranya yang tajam membuat telingaku terluka.

Aku terus menundukkan kepala dan bos entah apa yang dia lakukan selanjutnya dengan ponsel dan SIM card. Dari yang aku dengar, bos bernyanyi dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Diam-diam aku memasang telinga, suara bos yang bagus sayang kalau diabaikan begitu saja. Aku kenal lagu yang bos nyanyikan, ini lagu favorit Mei waktu kuliah dulu. Tim Hwang – Saranghamnida.

Suara bos yang merdu digantikan bunyi bel. Dengan malas aku mengangkat kepala dan menatap bos dengan tatapan memohon agar bos yang membukakan pintu, tapi bos malah balik melihatku dengan mata disipitkan. Ya, aku mengerti maksudnya.

Dengan langkah terseok, ditambah lagi jarak ruang tengah dan pintu depan lumayan memakan waktu, ketika aku membuka pintu langsung disambut dengan omelan. Aku membalas senyuman ramah Chris dan langsung memasang wajah cemberut pada Mei.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang