"Ra, lu pernah mikir nggak sih 'aku' tuh apa?"
Kupandang lagi Nara disisiku, 'nih anak gila lagi keknya' —batinku.
"Maksud dari 'aku' itu elo gitu?" Tanyaku akhirnya.
"Bukan bego, 'aku' ya 'aku'. Lo pernah nggak sih nanya ke diri-sendiri 'aku' tuh apaan? Lo kenapa ada, kenapa napas, bakal jadi apa nanti? Kepikiran nggak sih?"
Aku terdiam, tiba-tiba otakku membeku. Tanganku sibuk memutar gelas plastik kopi kekinian yang kami beli di kafe simpang empat kota.
"Dah lah ngomong sama lo bego Ra. Yuk pulang ntar kalau udah nemu jawabannya bilang ke gue." Interupsi Nara menghentikan kegiatanku yang tengah asik memainkan gelas dan memikirkan apa maksud dari pertanyaan Nara.
Nara bangkit dari duduknya, merapikan tas dan jaketnya. Kuikuti langkahnya meninggalkan tempat ini.
——
"Ra! Lo yg bawa motornya, ya. Males banget dah gue mulu yang nyetir," ucap Nara sembari menyerahkan kunci motor ke tanganku. Sejujurnya Pikiranku masih melayang entah ke mana.
"Iyeee, iyeee, dah buruan, Bunda pasti nyariin kita." Jawabku sekenanya.
"Lo tuh yang lama. Pertanyaan macem tadi aja lu mikir sampai segitunya. Gue gak butuh jawaban lu sekarang Ra. Udah entaran aja. Santuy, Sis!" Pungkas Nara sembari naik ke boncengan.
Kami pun melaju pelan dengan pikiranku yang masih tertinggal bersama pertanyaan yang dilontarkan Nara.
——
Sore ini seperti biasa, suhu hangat mentari yang perlahan turun dan kepadatan jalan yang dipenuhi pekerja pulang kantor menemani perjalanan kami. Seperti biasa tentu. Seperti hari-hari kami yang biasa —ngobrol, tertawa, dan masih banyak hal biasa lainnya. Kulajukan motor ini dengan kecepatan normal, sembari menertawakan hal-hal yang ada di jalan bersama Nara.
Jumat sore ini indah pikirku. Tanpa beban tugas kelompok atau beban kuliah untuk esok hari. Hingga kusadari bahwa Jumat ini berubah menjadi kelabu.
——
Jumat, 17 Desember 2019
Aku tersadar dan kami sudah jatuh tersungkur di jalanan. Pandanganku kabur menatap Nara di sampingku yang turut tergeletak diam. Aku mencoba bangkit, namun sia-sia saja karena kakiku tertindih badan motor yang kami tungganggi.
"Nara ... Nara ... Ayo bangun, Ra ...." Tanganku berusaha menggapainya. Nara terdiam. Kakiku tertahan motor. Pandanganku pun semakin kabur dan gelap segera merenggut sisa cahaya dari pandanganku.
——Senin, 21 desember 2019
Aku seperti terbangun dari mimpi panjang. Kelopak mataku begitu berat untuk kubuka. Badanku terasa sangat berat. Tenggorokanku begitu kering. Aku tahu Nara tidak mungkin diam saja. Nara disampingku. Semua mimpi.Kucoba membuka mataku dan menyesuaikan dengan pencahayaan yang ada. Langit-langit berwarna putih segera menyapaku. Aku terheran dan bertanya-tanya aku berada di mana, bukankah tadi aku masih berada di jalanan dan Nara berada di sampingku? Bagaimana aku bisa berada di sini? Kutolehkan kepalaku ke samping dan samar-samar kulihat Bunda duduk di sisiku sembari menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti.
"Nara ...." lirih Bunda sambil memencet sesuatu di ranjang sisi atas kepalau. Meski samar aku bisa mendengar nada khawatir dari Bunda. Bunda memegang tanganku dengan erat. Aku benci ini. Aku benci membuat Bunda khawatir. Kucoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kedadaku hingga kusadari terdapat alat bantu pernafasan di hidungku. Tidak ini pasti mimpi, elakku. Tetapi suara Bunda kembali menyadarkanku bahwa yang terjadi bukanlah mimpi.
Seorang dokter tergopoh-gopoh mendatangi ruanganku dan melakukan serangkaian pengecekkan. Setelah itu kulihat dokter itu berbicara dengan Bunda di luar ruangan. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Kepalaku masih terasa berat.
Usai bicara dengan dokter, Bunda kembali mendatangiku dan memandangku nanar. Samar-samar aku melihat matanya yang sembab. Aku tidak tahu bagaimana raut jelasnya. Pandanganku berulang kali mengabur.
"Ara, putriku, kamu bagaimana, Nak?" Kata Bunda.
Suara Bunda terdengar begitu berat. Aku tahu Bunda menahan tangisnya. Dengan susah payah aku mencoba mengeluarkan suaraku. Meski kepalaku terasa berat, tapi aku harus memastikan bahwa Nara baik-baik saja. Aku harus memastikan bahwa yang mengalami rasa sakit ini cukup aku saja. Dia jangan. Semoga Nara lah yang membawanya ke sini.
"Bunda, Nara mana?" Bunda hanya diam dan memandangiku dengan tatapan nanarnya. Aku mencoba untuk bangun tetapi aku tidak bisa menggerakkan kakiku, tetapi aku masih bisa merasakan betapa sakitnya kakiku ketika aku mencoba menggerakkannya. Mendadak ketakutan menyerangku.
"Kaki Ara sakit, Bunda," ringisku.
"Kaki Ara sementara begini dulu ya, Nak. Nara ada disebelahmu, Nak. Di sana adikmu."
Bunda menunjuk ruangan di seberangku. Ruangan yang hanya disekat dengan kaca. Di ruangan itu aku melihat sosok gadis yang hanya terdiam. Itu bukan Nara. Itu pasti bukan Nara. Ya itu bukan Nara.
"Nara? Mana mungkin Nara di sana Bunda? Nara di kampuskan? Dia pasti lagi di lab. kan Bunda," Elakku. Aku benar-benar tidak ingin Nara berada di ruangan ini. Aku tidak ingin Nara merasakan betapa dingin ruangan ini.
Bunda bangkit dari duduknya dan memegang tanganku semakin erat. Matanya semakin nanar. Pusing. Rasanya kepalaku tidak bisa mencerna semua ini. Bunda pergi menuju luar ruangan. Aku hanya terdiam, memandang hampa ruangan di seberangku. Nara tertidur dengan tenang, alat bantu entah apa namanya terpasang lengkap di sekujur tubuhnya. Aku mematung. Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang mungkin saja akan menghampiri. Aku tak ingin memikirkan itu. Sangat tidak ingin. Aku masih mau berbicara dengan Nara. Berbagi banyak hal dengannya. Bersenda gurau, pun menangis bersama. Aku masih ingin membicarakan apa itu 'aku' dengannya. Semoga dia juga memiliki keinginan yang sama denganku.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Pasti Kak Jae dan Adik, pikirku.
"KAK ARA!" Terdengar suara khawatir Jeno memanggilku.
Ya yang memasuki ruanganku adalah adik bungsuku, Jeno, dan Kakak sulungku, Kak Jaehyun. Aku hanya sanggup memandang mereka mereka dengan tatapan nanar.
"Kak, kalian kenapa? Kenapa tadi nggak bilang Jeno buat anter? Kenapa nggak ajak Jeno? Kenapa nggak cerita Jeno kalo gini? Kenapa kak Ara kakinya gini?" Rentetan pertanyaan dari Jeno cukup membuatku pening. Sungguh aku ingin menjawabnya, tapi untuk mengeluarkan sepatah kata saja rasanya aku belum sanggup. Aku juga masih belum bisa menerima dengan apa yang menimpa kami.
"Jen, Kak Ara sakit. Kakak tahu kamu juga khawatir, tapi jangan buat Kak Ara makin pening dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Diam dulu dan tunggu diluar bersama bunda."Aku berterima kasih pada Kak Jaehyun yang sudah menegur Jeno.
"Tapi, mana Kak Nara? Jeno mau ketemu Kak Nara." Jeno kembali bersuara, tapi kali ini gaya biacaranya tidak lagi menuntut seperti tadi.
Kutatap jeno dengan pandangan nanar. Kutunjuk ruangan seberangku. Jeno memandang sendu, kakinya mulai melangkah meninggalkan kami."Ara, I have a lot thing want to ask you. Tapi kakak tahu ini bukan saatnya. Jadi Kakak bakal diem di sini sampai kamu mau ngomong."
Kak Jae menarik kursi supaya bisa duduk di dekatku dan meraih tanganku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Semua terjadi terlalu cepat dan terlalu sakit. Aku memilih untuk memejamkan mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUAN
Teen FictionAra adalah gadis muda yang berusaha menjalani hidup setelah rangkaian peristiwa yang menimpanya. Hidup dengan senyum topeng setiap harinya, hingga menemukan jawaban apa eksistensi ia hidup.