13: Pengakuan

179 43 20
                                    

Dokter bilang luka yang dialami Naya tidak begitu parah hanya saja, seluruh tubuhnya babak belur seperti habis di pukuli. Sementara kondisi paman Naya justru sekarat, laki-laki itu kehilangan banyak darah dan beberapa tulang rusuknya patah. Pria tua itu jauh lebih parah terlukanya ketimbang Naya.

Tapi untungnya, Paman Naya sudah dilaporkan ke pihak berwajib oleh Elang. Laki-laki yang sedari tadi tak henti tersenyum saat memandangi wajah pucat Naya yang tengah terlelap di kasur.

“Apa gue terlalu parah? Tapi  ... enggak ah, dia masih hidup.“ Elang kembali memperhatikan lekat perempuan itu, sembari menunggu walinya datang, Elang akan berjaga di ruangan. Takut-takut kalau ia di serang pamannya, eh tapi, mustahil kan orang kritis tiba-tiba menyerang orang? Dia kan sedang sekarat. Jadi mana mungkin sih melakukan hal gila itu?

“Harusnya tadi gue buat salah satu tangannya patah, kalo cuma babak belur mah kurang puas.“ Elang bergumam pelan, laki-laki itu kembali memperhatikan Naya.

Beranjak dari bangku, laki-laki itu mendadak penasaran dengan luka di belakang kepala Naya, apa bila sudah di jahit darahnya tidak akan keluar? Elang bertanya-tanya. Bukankah asik saat melihat darah itu keluar?

Saat laki-laki itu ingin melepas perban yang melilit kepala Naya, Tiba-tiba perempuan itu tersadar dan mencengkram tangan Elang.

“Berhenti disitu.“ Elang sontak memutar bola matanya, dia terkejut sembari tercengir kuda.

“Lo udah bangun?“ Naya dengan cepat menyingkirkan tangan laki-laki itu. Perempuan itu memutuskan untuk bangun dari tidurnya.

“Pergi.“

“Kenapa? Gue yang nolongin lo.“

“Tapi lo juga yang nyaris bunuh gue, sialan.” Naya naik pitam.

“Emang iya?“ Elang menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu kembali duduk.

“Lo sakit jiwa.“ hardik Naya yang memicingkan mata, dia kesal, ingin marah, saat tahu Elang lah yang memperburuk keadaannya jadi begini. Sampai-sampai beberapa tubuhnya bengkak dan lecet. Sialan memang. Dia psikopat.

It's your opinion.“

“Gak usah nyangkal, gue tau ini semua ulah lo. Gue juga denger ungkapan gila lo terhadap luka-luka gue. Dan gue rasa lo bukan manusia.“ Elang tampak biasa saja, laki-laki enjoy sekali, dia bahkan hanya mengangguk-angguk paham seolah ini bukan permasalahan berat.

“Sejak kapan?“ kali ini Elang menatapnya lekat. Laki-laki itu diam sejenak, menatap Naya dalam diam, tapi tidak dengan perempuan itu yang tampak sinis.

“SMP.“

Naya melengoskan napas kasar, gila. Sudah sejak SD?

“Saat gue mergokin lo suka nyayat tangan pake penggaris besi di taman belakang sekolah.“ Naya tercekat, jadi, sudah selama itu?

Elang menggigit bibir bawahnya. “Awalnya gue sempet kasian dan berniat nolong lo, tapi lama-lama gue terbiasa sama kelakuan gila lo. Gue ... Gimana ya bilangnya, gue jadi candu liat luka-luka lo. Apalagi denger lo kesakitan.“ Naya mengepalkan tangannya, matanya telinganya memanas dan rahangnya mengeras. Andai tidak sedang lemas, mungkin Naya sudah menghajar laki-laki ini.

“Jadi, itu alesannya lo suka lukain Axel?“ dengan Cepat Elang menggeleng.

“Axel itu cuma hiburan, intinya ada di lo.” Elang tertawa kecil kemudian melipat tangannya di atas dada.

“Lo sakit!“

“Gue gak sendiri, karena sejatinya setiap orang punya penyimpangan kejiwaan yang bervariasi.“

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang