Bagi Sasuke, masa lalunya adalah sebuah buku yang sudah bertemu akhir. Takperlu diungkit dan tidak semestinya diungkit, karena tiap lembarnya hanya berisikan rasa sakit. Mengusik.
Seperti cerita pada dongeng-dongeng klasik, Sasuke ingin akhir bahagia. Bersama dengan buah hati tercinta. Menikmati waktu yang telah kembali ia dapat dari sang Kuasa. Bukan untuk kembali merasakan perihnya derita. Atau secuil ingatan menyentak jiwa. Sasuke ingin jadi orang biasa. Tanpa perlu chakra atau senjata. Menjalani hidup dalam dunia kecilnya yang susah payah Sasuke bangun di atas bayang-bayang masa lalunya sebagai pejahat dunia.
Namun, segala perjuangannya runtuh sudah. Satu kalimat dari seorang Shiba mampu menggoyangkan tembok kokoh yang selama ini dibangunnya. Satu kalimat yang dengan telak menghantam kelemahannya. Sasuke tahu, masa depan ada dari serpihan kenangan yang terkumpul jadi motivasi untuk berjalan ke depan. Hal itu akan mengikuti sampai kapan pun dirinya hidup di dunia. Takbisa disangkal. Tapi kalau jelas diucapkan, Sasuke bisa apa. Kenyataannya sebagai seorang missing-nin memang bukan bualan.
Sang Uchiha menghantamkan dirinya pada dinding terdekat. Menyelaraskan detak random dalam dada setelah ia mendengar penuturan Shiba muda. Masih membekas dalam ingatan, karena itu baru terjadi beberapa menit silam. Tiap katanya, bahkan hembus nafas itu, terekam dalam kepala. Berputar searah dengan gemetar di tangannya. Sasuke meremat ujung pakaian yang ia kenakan. Mata itu memburam perlahan, demi meminimalisir iluh yang menetes, Sasuke memejamkan manik malamnya.
Baru setelah dirinya merasa baik-baik saja, Sasuke kembali mengambil langkah. Semakin cepat dan semakin cepat. Setengah berlari, sampai di mana kakinya membawa Sasuke tepat di pintu kamar 208.
Krieett....
"Menma?"
.
.
.
Menma tahu, tidak seharusnya ia percaya dengan bualan orang asing tadi. Tapi pernyataan terakhir itu, Menma tidak bisa tidak peduli. Menyangkal pun sulit. Ia hanya bisa diam tak berkutik. Menelaah kembali segala jenis informasi. Menyaringnya, dan menyusun setiap keping memori. Satu per satu sampai di mana ia bisa berkesimpulan bahwa dirinya harus mempercayai.
"Bu.... apa ayah juga punya mata biru sepertiku?"
"Hn... matanya sangat jernih sepertimu."
"Hehehe.... bu aku menemukan ini di gudang. Bukankah ini lambang ninja Konoha? Apa ini punya ayah Menma?"
"Menma... Ayahmu... sudah bahagia."
"Sasu... ke... Sasuke..."
"Tuan... Hokage?"
"Maaf. Kupukir kau seseorang yang kukenal."
"Sasuke. Namanya Sasuke."
"Eh? Sasuke? Seperti nama ibuku."
"Bagaimana dengan ayahku, apa Anda juga mengenalnya?"
"Lalu, bagaimana kalau tiba-tiba ayahmu datang?".
"Kalau benar begitu, mungkin satu dua pukulan tidak masalah. Hahaha...."
"Lihat mata biru ini. Garis-garis pipi. Bentuk wajah. Kau benar-benar dupikat ayahmu."
Semua itu berputar seperti kaset rusak. Entah bagaimana semuanya terasa saling berkesinambungan. Sampai Menma pusing dibuatnya. Sampai Menma sendiri merasa kalau sesuatu tengah bermain di sekitarnya. Melibatkan dirinya yang tidak tahu apa-apa. Namun mengapa sebagian hatinya masih menyangkal. Padahal sudah sangat jelas kejanggalan dalam tiap penggal ingatan. Mengapa?

KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA |End
FanfictionKehampaan ini, harus berapa lama kudekap. Luka ini harus selama apa kusekap. Kau terlalu jauh untuk bisa aku raih tanpa sayap. Tak bisakah kau berhenti membiarkan aku meratap? Bernafas walau hanya sesuap? Repost dari Fanfiction LUKA (NARUSASU) MENMA...