Hari ke-30-
Satu bulan, kurasa tak terlalu lama jika aku menikmatinya. Mengabaikan segala keluh kesah yang semua pekerja rasakan, mengabaikan rasa sakit yang mendera, dan mencoba mengabaikan beban yang memenuhi pikiran. Ya, aku hanya perlu mengabaikannya dan aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Mengeluh juga percuma dilakukan karena aku sudah mencobanya ketika pertama kali bekerja di tempat ini.
Mansion mewah bergaya victoria, bangunan ini sudah tua meski masih terlihat kokoh di setiap inci batu bata cokelat mengkilat yang tersusun rapi di dindingnya. Pilar-pilar tiang dari marmer berdiameter tiga puluh senti itu juga mulus layaknya kulit wanita yang rutin melakukan perawatan.
Meski aroma apek di kamarku yang hanya mendapatkan bagian-ibaratnya titik kecil di kertas portofolio-di rumah ini sudah mulai terasa akrab di hidungku, aku masih merindukan kamarku sebelumnya. Oh ayolah Makoto, harusnya kau berhenti mengeluh dan mulai bekerja.
Mungkin keputusan berkunjung ke Hokkaido membuatku menyesal. Aku kehilangan benda-benda berhargaku satu bulan yang lalu ketika aku menginjakkan kaki di kota ini. Kupikir ini adalah tempat yang aman, tapi Sapporo berhasil membuat penjahat berkamuflase secara mudah. Hal itu terpaksa membuatku bekerja, menjadi pesuruh untuk mengumpulkan uang agar aku bisa kembali ke Tokyo. Meski berat untukku yang belum mencicipi dunia kerja, setidaknya aku masih bisa bertahan agar semuanya kembali seperti semula.
Suara derap langkah sepatu milik gadis yang menjadi penguasa di sini membuatku bergegas menempelkan kembali kain lusuh di tangan pada lemari kayu di depanku. Aku sedang berada di perpustakaan yang tiga kali lebih lebar dari kamarku. Buku-buku bekas yang hampir semuanya sudah pernah kubaca dulu tersusun rapi di meja kayu besar di tengah ruangan karena aku sedang membersihkan rak-raknya. Gagang pintu itu terputar, sosok gadis yang lebih muda dua tahun dariku itu muncul dengan sorot mata tajamnya. Netranya menyapu setiap inci ruangan ini, dan seolah mengulitiku hidup-hidup ketika bola mata hitam berselaput lensa abu-abu itu menatapku.
“Apa kau sudah selesai? Aku kesepian di ruang makan.”
Aku tidak menjawab, hanya menggeleng. Gadis itu menghela napas lalu mengikis jarak di antara kami. Ia berdiri di sampingku, menghadap ke lemari. Dari ekor mata, aku bisa melihatnya menatapku lekat-lekat dengan tersenyum.
“Berapa lama lagi?”
“Tidak lama.”
“Kuberi kau waktu tiga puluh menit. Jika tidak segera ke sana, aku akan memotong upahmu.”
Aku hanya mengangguk sekali. Tangan gadis itu membelai rambutku, dan ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. Deru napasnya membuatku bergidik dan aroma parfum menyengat itu membuatku muak, tapi aku tidak bisa menghindarinya.
“Bekerjalah dengan baik, Hase-chan. Dan jangan menatapku tidak ramah begitu. Aku tidak ingin menekanmu lebih parah lagi.”
Ia melangkah pergi, ruangan ini kembali sunyi. Aku bergerak cepat, dan membanting kain lusuh itu ke lantai dengan kasar. Mengangkat buku-buku dan mengembalikannya serapi mungkin ke dalam rak. Jika tidak terpaksa, aku tidak akan sudi melakukannya. Bukan maksudku meremehkan pekerjaan menjadi seorang pesuruh, tapi bekerja untuk gadis itu membuatku lebih cepat tua karena selalu menahan emosi setiap saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SERVANT
FanfictionApa yang kau terka belum tentu sama. Karena yang aku lalui sepenuhnya berbeda dari sudut pandangmu. Hasegawa Makoto. -THE SERVANT