TFFA #1

180 48 22
                                    

"Surat cerai sudah ada di meja."

Jeongin tidak mendengarkan kalimat yang dikeluarkan oleh wanita di belakangnya. Tangannya masih sibuk mencuci tumpukan piring dan sesekali mematikan kran agar air tidak terbuang percuma. Matanya memandang fokus pada busa-busa sabun cuci piring, seolah pekerjaan yang ia lakukan sekarang lebih penting dibandingkan sekedar mengobrol dengan orang yang telah membuatnya sakit kepala akhir-akhir ini.

"Masalah aset, kamu bisa membicarakannya dengan pengacaraku."

Suara tawa Lana, anak perempuannya, yang sedang bermain di pekarangan belakang rumah terdengar mengiringi kalimat perpisahan yang sekarang sedang dikeluarkan oleh ibunya. Lana sama sekali tidak mengetahui bahwa di dalam dapur, kedua orang tuanya tengah menghadapi badai yang telah meluluh lantahkan keluarga kecil mereka. Anak perempuan itu benar-benar tidak sadar bahwa mungkin, saat ini adalah saat terakhir ia bisa melihat ibunya.

"Dan masalah Lana..."

"Dia sama aku," Jeongin menjawab cepat setelah sekian lama membisu. Ia mematikan kran air, mengusap tangannya yang basah pada kain lap yang berada di dekat sink. Lelaki itu membalikkan badannya, menatap lekat perempuan yang sedang duduk di meja makan.

"Aku gak peduli masalah harta, aku hanya minta Lana." Suaranya terdengar tenang, seolah beradu dengan suara tawa anak perempuannya yang sekarang sedang bermain di halaman belakang rumah. "Aku gak akan nyegah kalau kamu mau bertemu sama dia atau dia yang mau ketemu sama ibunya, tapi aku gak akan biarin kamu bawa Lana. Gak setelah apa yang kamu lakukan ke keluarga kita."

"Dia anakku je."

"Dia juga anakku cha." Jeongin menjawab cepat, "Dan pengadilan sudah memutuskan hak asuh ke aku. Kamu jangan berusaha untuk merubahnya."

Wanita yang didebat sontak terdiam, menutup erat mulutnya karena kenyataan bahwa pengadilan Norwegia telah memutuskan bahwa Jeongin mendapatkan hak asuh atas anak semata wayang mereka cukup membuatnya terkejut. Sebagai orang tua, tentu saja ia ingin merawat anaknya hingga dewasa. Melihatnya masuk sekolah, masuk kuliah hingga menikah. Namun apa daya, hak asuh yang jatuh ke mantan suaminya membuatnya harus mengubur dalam impian tersebut.

"Aku gak percaya kalau pengadilan lebih memilih anak diasuh oleh ayah dibandingkan ibunya."

Jeongin mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan omong kosong yang baru saja dikatakan oleh istrinya, "Kamu gak rela aku yang ngerawat Lana?"

"Karna aku ibunya je," wanita itu balik menatap lekat Jeongin setelah cukup lama menatap gelas yang berada di depannya, "Aku yang melahirkan Lana."

"Melahirkan dia gak sontak menjadikanmu sebagai orang tua." Jeongin berdesis pelan, "Perlu aku ulangi lagi berapa kali kamu sudah menelantarkan anakmu untuk laki-laki yang bahkan tidak jelas asal usulnya? Kamu mau Lana mendengar semua dosa ibunya, iya?"

"Kamu juga tidak lebih baik dari aku." Suasana dapur berubah memanas. Pendingin ruangan yang menyala tidak serta merta bisa mendinginkan tensi keduanya sekarang, "Aku hanya gak mau Lana dibesarkan oleh lelaki yang gak jelas seksualitasnya."

"Gak jelas seksualitasnya? Hanya dengan aku gak pernah bilang ke kamu kalau aku biseksual, gak menjadikan aku kemudian gak jelas seksualitasnya. Kamu hanya mencari alasan untuk memojokkanku."

"Aku gak pernah membayangkan Lana mengetahui bahwa papanya pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki."

"Aku juga gak akan bisa membayangkan apabila Lana mengetahui bahwa ibunya tidur dengan lelaki lain ketika masih menikah dengan papanya." Dada Jeongin berubah sesak, semua emosinya seolah sudah berada di ujung kerongkongan. "Jangan berubah menjadi wanita suci ketika kamu saja menggugurkan anak hasil perselingkuhanmu sendiri."

Till Forever Falls Apart (Hyunjeong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang