"Mat..."
Tak ada jawaban.
"Tia..."
Masih tak ada jawaban dari cewek disebelahku.
"Woii...Matia Uru. Kau itu budeg atau gimana sih??" sungutku kehabisan kesabaran menghadapi teman sebelah dudukku sekaligus cewek yang ternyata adalah cewek yang kucari-cari sejak kepindahanku.
"Apa?" sungutnya akhirnya menutup komik psyco yang sedang dibacanya. Wajahnya terlihat bete gara-gara aku menggangu ritual hariannya. Ekspresinya saat ini terlihat mirip dengan yang ada di mimpiku. Membuatku entah kenapa mendadak merinding.
"Kenapa kau tak bilang kalau namamu Matia Uru sih?" tanyaku protes." Apa kau sudah melupakanku?" tanyaku ragu-ragu. Kalau dia beneran melupakanku, berarti malang banget nasibku. Mengharapkan seseorang yang begitu mudah melupakan seseorang yang sempat lama mengisi masa kecilnya.
"Yoga Helvizora kan? Aku ingat kok." kata cewek itu datar. Hal itu langsung membuatku menghela nafas lega. Rupanya dia masih mengingatku. Syukurlah.
Tapi...
"Kau kan udah memperkenalkan diri kemarin. Tentu saja aku ingat. Memangnya kita kenal dimana lagi?" tambahnya membuatku langsung sweat drop. Frustasi untuk kesekian kalinya. Rupanya dia betulan melupakanku. Aku hanya bisa bergalaumoon ria dalam hati.
"Masa udah lupa?" tanyaku mencoba menghubungkannya dengan masa-masa bahagia kami dulu.
Matia masih memasang wajah datar. Cuek bebek menghadapi aku yang sekarang berusaha menahan perasaanku yang amburadul saking gagal pahamnya menghadapi cewek ini.
"Maksudmu?"
"Astaga Mat.... Bukannya kita janji akan terus saling ngingat satu sama lain. Bukannya kau janji takkan melupakanku saat aku pindah delapan tahun yang lalu." kataku protes."Ini aku lho Mat.... Yo-yo." kataku akhirnya mencoba mengingatkannya dengan nama panggilan itu.
Matia terdiam. Terlihat berusaha mencerna apa yang barusan kukatakan. Wajahnya masih datar. Membuatku deg-degan memikirkan apakah dia sudah mengingatku. Kemudian terlihat ia meninju tangan kirinya seolah mulai mengerti.
"Hoo.... Yo-yo ya. Kau punya panggilan yang bagus." katanya akhirnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas panjang. Bingung dengan sikap Matia yang seolah tak peduli itu. Apa dia benar-benar sudah melupakanku??
**********
Meskipun aku sudah menemukan orang yang kucari,entah kenapa pembicaraan kami tak pernah sama seperti dulu. Matia kaku banget atau lebih tepatnya poker banget. Beda banget dengan yang pernah kukenal.
"Ano.... Mat?"
"Hmmm...." dia masih saja cuek bebek seraya sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Sekarang pelajaran sudah berakhir.
"Tugas kita mau dikerjain dimana?" tanyaku mencoba kembali bicara padanya. Aku harus bisa mengembalikan situasi ini seperti yang kuharapkan.
"Rumahku."
Aku menaikkan alisku.Hoo... Sepertinya dia mulai mencoba membuka peluang untukku untuk mendekatinya. Mungkinkah aku bisa membuatnya kembali seperti dulu?
Bukan mungkin. Tapi harus kan?
"Kenapa bengong? Ayo...." Ajak cewek itu. Aku hanya bisa menurut.
Sesampai di rumahnya yang ternyata memang sama dengan apa yang kuharapkan, alias di sebelah rumahku, kami disambut oleh adik laki-laki Matia yang gak seaneh kakaknya, alias Rio.
"Sudah pulang kak..." sambut Rio riang, "...dan halo Mas Yo." sapanya kepadaku.
"Rio. Sediain cemilan banyak-banyak. O...ya keluarin big cola di kulkas sekalian." Kata Matia kepada adiknya.
Aku melongo. Matia memerlakukanku seistimewa ini? Apa aku mimpi? Mungkinkah tadi dia hanya mengujiku dan sekarang memperlakukanku seperti layaknya reuni pada umumnya.
"Ayo. Kita langsung ke kamarku aja, Yo." katanya kemudian menarik tanganku lembut. Dia tersenyum tipis kepadaku untuk pertama kalinya sejak pertemuan kami setelah sekian lama.
Gawat. Kepalaku mulai berkabut mencerna apa yang barusan ditawari Matia. Mengajak seorang cowok masih ababil ke dalam kamarnya dan tak ada pengawasan orang tua sama sekali, benar-benar membuatku mulai memikirkan hal yang aneh-aneh.
Apa sih yang ku pikirkan???
Ketika aku memasuki kamar Matia, lagi-lagi aku hanya bisa cengok karena tidak sesuai dengan harapanku. Jangan bayangkan kalau kamarnya diisi barang-barang yang girly, atau setidaknya simpel ala cewek biasa. Kamarnya itu bisa dibilang hampir kayak kapal pecah. Kamarnya itu kayak kamar mahasiswa skripsi yang lagi stress. Berantakan dengan banyak kertas bertebaran. Lebih berantakan daripada kamarku pokoknya.
"Ano... Mat..."
"Jangan banyak protes. Bantu aku membersihkan kamar ini." katanya menyodorkan sebuah sapu kepadaku. Lagi-lagi aku hanya bisa cengok dengan semua kata-kata cewek yang selalu diluar dugaanku itu.
*********
Lagi-lagi aku hanya bisa cengok untuk kesekian kalinya ketika Matia sama sekali tak menunjukkan adanya tanda-tanda mau memulai kegiatan belajar kelompok. Dia hanya menatapku dengan tatapan aneh. Aku merasa kayak buronan yang tengah diinterogasi polisi.
"Mat tugas kita..."
"Lupakan soal tugas." Kata cewek itu tiba-tiba.
"Hee???" kataku tak mengerti.
"Bantuin aku ngejar deadline ini." katanya tanpa titik koma. Seolah kayak aku kacungnya aja.
"Hah??" aku semakin tak mengerti.
Ia kemudian menyodorkan beberapa lembar kertas kosong,sebuah G-pen sama sebotol tinta hitam kepadaku. Kita mau ngapain? Bikin komik kah?
"Editorku bakal datang besok. Bantuin aku selesain komikku ini." paksanya menyodorkan kembali beberapa kertas kepadaku. Tapi kali ini penuh gambar.
"Tapi tugas kita juga harus dikumpulin besok..." Aku ingin protes, tapi langsung disela oleh cewek itu dengan sesuatu yang membuatku nyaris jantungan.
"Jangan-pernah-membantahku-Yo..." Aku terkejut dengan ekspresinya berubah menakutkan kayak calon psikopat. Apalagi dengan pisau cutter yang ia tancapkan ke gabus tempat menempelkan notes di dekat batang leherku yang nemplok di tembok gara-gara perbuatannya itu. Aku langsung merinding. Ini mirip sekali dengan mimpiku.
"Mat..." kataku gugup saking takutnya. "Kenapa kau lakukan ini?"
Reaksi yang kudapat dari Matia makin absurd aja di depan mataku. Dia menjitakku pelan dengan tangan kecilnya.
"Salahkan dirimu sendiri yang memperkenalkan dirimu sebagai Yoga Helvizora di depanku." katanya mencibir. "Karena pada akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan seseorang yang selalu bisa kujadiin pelampiasan kekesalanku. Yoyo kan budakku." katanya cablak, to de poin, dan begitu santai dengan kata-katanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda penyesalan dengan semua kata-katanya itu.
Aku hanya bisa ketawa miris dengan semua ini. Terkadang aku tak bisa mengerti, kenapa ya aku bisa menyukai cewek yang gajenya terlalu ini. Delapan tahun tak ketemu,rupanya dia sama saja dengan Matia yang pernah kukenal. Malah tambah gila.
Sepertinya perasaanku kepadanya takkan pernah sampai kepadanya. Dengan semua keabsurdannya, aku akan sangat kesulitan mengikuti dunia anehnya itu.
Haahhh.... Miris banget nasibku. Sepertinya agar perasaanku sampai kepadanya suatu saat nanti, aku perlu berakhir jadi Masokist dulu.
~FIN
***********
Note:Ending? Masa?
Kenapa???
Alasannya simpel. Rupanya aku gak bakat romance. Makanya kumasukin ke genre random.
Maafkan author labil nan absurd plus PHP ini. Rupanya nasib mereka berdua lagi-lagi kugantung ke tiang jemuran. Padahal Yoga adalah salah satu OC favoritku. Gomen Mas Yoyo #plakk
Dan terakhir, jangan lupa terus jelajahi dunia ketidakkonsistenan dan anehku yang lainnya. Ini maksa lho ceritanya #lemparsandalauthor.
Salam cemong
Chimut07
KAMU SEDANG MEMBACA
Kokoro Antimainstream
RandomHidup boleh saja nomaden. Tapi sori, hati ini takkan nomaden semudah itu darimu. Tapi.... ~Y.H