Bab 01/2

5 0 0
                                    

Aku berpikir apa ayah dan ibu lain juga begitu? Mungkin semua orang punya orang tua seperti ini?

Nenek membelai kepalaku, sayang. Ia bertanya apa aku ingin pulang ke rumahnya. Aku sangat ingin pergi waktu itu, namun ibu tak setuju. Ibu berkata kalau nenek membawaku maka ia harus membayar uang sekolah, ayah juga setuju akan hal itu.

Semua keras kepala, ibu bahkan berani mengancam akan melaporkan nenek ke polisi atas dasar penculikan jika ia' membawaku. Aku tak mengerti itu dan yang menyebalkan adalah ayahku selalu tersenyum saat ia melihat ibu melawan nenek.

Seolah ia senang dengan perlawanan anak pada ibunya dan kenyataan bahwa wanita itu lebih memilihnya ketinbang orang tuanya. Aku tak tahu apa yang membuat senang akan hal itu.

Pada akhirnya aku tetap tinggal di sana, namun nenek selalu menjengukku seminggu sekali.

" .... Andi... Kak Andi!!~"

"Uh?" Alia terlihat bingung denganku yang terdiam sepanjang mandi. Jangan berpikir hal kotor, aku memang selalu memandikan adikku sejak usia lima tahun. Nenek sudah tua sekarang jadi memAndikan anak adalah hal berat baginya.

Jadi aku yang melakukannya.

Di pagi hari biasanya aku juga ikut mandi, dengan begitu waktu yang terpakai akan lebih sedikit. Tentu saja aku memakai kolor saat mandi bersama Alia.

"Kak Andi kenapa diam saja, hari ini kan hari ulang tahun kakak."

"Tidak, tidak apa-apa. Hari ini hari biasa saja..." Kuharap. "Ayo, kamu keluar dulu. Minta nenek bantu mengenakan seragam mu. Kakak mau pakai seragam kakak ya."

"Baik, yang cepat ya. Alia mau makan kue Bi Yami." gadis kecil itu keluar dari kamar mandi dengan semangat. Kamar mandi tidak punya pintu, hanya kain usang yang jadi tirai untuk menghalangi apapun yang terlihat di dalam tampa isolasi suara. Jadi kalau kau kentut dan suaranya nyaring, itu akan terdengar dari depan rumah.

"Bi Yami kembali dari kota?." aku mulai memakai seragam smaku yang sudah kubawa sebelum mandi.

"ya!! tadi subuh kak rumi datang bawa kue dan oleh-oleh banyak. Iya kan nek." suara alia begitu bersemangat, begitu senang.

"ya, dia kembali. Sebaiknya kamu ke rumahnya, ucapkan terima kasih untuk kue ulang tahunmu." ucap suara tua yang serak.

Aku keluar dari kamar mandi dengan baju yang setengah sudah terkancingkan, berjalan menuju meja kayu lapuk yang terletak di sudut ruangan. Di atas meja aku melihat kue tart berwarna biru muda dan cokelat, tak lupa juga lilin berbentuk angka 1 dan 7.

Senyumku tak tertahankan bersamaan air mata. Nenek tersenyum saat melihatku, keriputnya makin banyak dari tahun lalu. Walau senyumnya tak berubah. "Cucu nenek sudah besar ya. Andi sekarang sudah punya KTP, sudah punya tanggung jawab sendiri. Pilih yang benar buat Andi sendiri."

Nenek berkata sambil memelukku. Ya, benar. Sekarang aku bebas dengan pilihanku, tak lagi tergantung pada orang tuaku yang mungkin lupa bahwa aku telah lahir.

Setelah acara kecil dan makan bersama aku dan alia berangkat ke sekolah. Aku sekarang SMA kelas dua dan alia SD kelas tiga, sekolah kami lumayan dekat. Hanya berjalan dua puluh menit sudah sampai. Itu adalah sekolah negeri yang dimiliki kecamatan. SD, SMP dan SMA ada dalam satu area. SD dan SMP ku berbeda karena rumah ibu jauh dari sini, jadi aku masuk ke sekolah khusus petani di desa sebelah. Biayanya sangat murah hingga orang seperti ibu dan ayah harusnya tak menyekolahkan anak mereka di sana.

Aku mendapatkan beasiswa saat masuk SMA, ada guru yang menyarankan untuk ikut beasiswa negara untuk anak-anak miskin, di sekolah petani memang waliku adalah Bi Yami dan bahkan semua mengira aku adalah anaknya. Ya, semua. Sampai guru-guru sukarelawan sekolah itu.

Bermuda: Rasa(sensor ver. Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang