"Mau ke mana, Lo?"
Aya terkejut. "Juna?"
"Mau ke mana, Lo?" tanyanya lagi dengan ekspresi datar.
"Bukan urusan, Lo!" ketus Aya. Saat ingin melewati Arjuna, cowok itu menggenggam tanganya. Sontak, membuat Aya menatapnya. "Apa?" tanya Aya dengan Alis terangkat satu.
"Mau ke mana, Lo?"
"Ish, kepo banget sih, Lo?! Lepas!" Aya pun menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Arjuna.
"Muka Lo kenapa?" Mata Arjuna memicing. "Tangan Lo juga kenapa?"
Aya gelagapan, "Bukan urusan, Lo!" sentaknya.
"Jawab!"
"Apasih, Lo?!" balas Aya dengan membentak.
"Muka Lo kenapa?!" Arjuna menatap tajam Aya.
"Kepentok meja belajar," ucap Aya asal.
Arjuna terkekeh. "Sejak kapan Lo belajar?"
"Heh!" Aya membulatkan matanya sempurna. "Gue emang suka belajar, ya!"
"Jujur!"
"Buat apa Gue jujur sama Lo?! Gak guna." Setelah mengucapkan itu Aya pun hendak berjalan kembali. Namun, baru beberapa langkah, ia ingat sesuatu.
"Oh, iya! Jangan bilang siapa-siapa muka Gue begini!" tekannya.
Sedangkan Arjuna tersenyum sinis, "Ogah!" Ia pun memasuki sekolahnya.
"Eh? Eh? Jun!" Aya pun berlari ke arah Arjuna. "Jangan gitu dong!" Aya menggenggam pergelangan Arjuna. "Jangan kasih tau siapa-siapa! Ngerti gak sih, Lo?" Aya menatap Arjuna yang dibalas tatap dengan cowok itu.
"Kalau Gue gak mau gimana?" tantangnya.
"Pokoknya harus mau!"
"Alasannya apa?"
"Karena ini muka Gue!"
"Terus?"
"Ya terserah Gue-lah!"
"Bodo." Arjuna tetap berjalan menuju kelasnya.
Aya dengan bodohnya mengikuti Arjuna. "Plis, Jun, Plis." Ia tetap mengikuti Arjuna.
Karena geram, Arjuna pun menghadap Aya. Mereka sekarang berada di pinggir lapangan. "Apa sih, Aya? Terserah Gue mau bilang apa enggak!" kesalnya.
"Jangan gitu, Jun. Gue malu!"
"Kenapa Lo harus malu?" heran Arjuna.
Aya tak tahu harus menjawab apa.
"Bener, 'kan? Itu bukan kepentok meja? Kalau iya, gak mungkin sampai biru begini," ucap Arjuna.
"Hmm." Aya tampak berpikir. "Kalau emang nyatanya ini kepentok, gimana?" tanya Aya.
"Its, imposibble, babe."
"Tapi ini beneran kepentok, Jun!" kesal Aya.
"AYA AWAS!" teriak segerombolan laki-laki dari arah samping Aya dan Arjuna.
Sontak hal itu membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Mata Aya membulat sempurna saat dirinya melihat sebuah bola basket mengarah padanya.
"Aaa!" teriak Aya sambil memejamkan matanya.
Dengan cepat Arjuna menarik pinggang Aya, hingga membuat dahi gadis itu terbentur oleh dadanya.
"Duh," lirih Aya. Ia membuka matanya dan mendongak.
Aya menghela napas lega. Untung saja ia tidak terkena bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
JERITAN BATIN [TELAH TERBIT] ✔
Dla nastolatkówSemua orang hanya bisa mendengarkan, bukan bantu menyelesaikan. Lantas, untuk apa bercerita kepada dirimu? -Ardelia Khanaya Dengan bercerita, luapan emosi keluar sudah. Batin yang selalu disiksa olehmu hanya butuh didengarkan, dengan siapa pun dan...