Surat Panggilan Wali

7 0 0
                                    

cerbung (TERPEDAYA)

Surat Panggilan Satu

Era pandemi belum berlalu tetapi Jadwal sekolah ditempatku sudah kembali seperti semula belajar secara tatap muka. Namun, untuk pergi ke sekolah lumanyan malas setelah keenakan tanpa kegiatan sekolah. Meskipun sekolah sudah aktif tatap muka tetapi Safrizal menjadikan alasan dampak Corona untuk bermalas-malas ke sekolah di tambah lagi asyiknya bermain game online. Kehadiran sekolah bisa di hitung jari sehingga wali kelas membuat surat panggilan untuk walinya.

Aku berjalan bersisian dengan bu Wulan memenuhi panggilannya. Kami terus melangkah beriringan dari kelas menuju kantor tanpa bersuara satu kata pun. Sedikit tidaknya aku sudah paham kenapa diajak ke kantor. Kini, aku terduduk diam berhadapan dengan beliau. Dia menyunggingkan senyum lebar sambil memandang kearahku. Aku  membalas dengan senyuman yang kupaksakan. Suasana hening sejenak diantara kami. Aku menunggu beliau berbicara.

“Safrizal ... “ akhirnya bu Wulan membuka pembicaraan dan tangan kananya memegang sebuah pulpen sedangkan tangan kiri memegang sebuah buku notes. “Kemana saja  selama ini  kamu tidak masuk kelas tanpa pemberitahuan?” lanjut bu Wulan.

Aku masih bingung harus jawab apa. Bu Wulan terus menatapku tanpa berpaling dengan sorot mata yang tajam. Aku mengedar pandangan kesekeliling. Hanya ada aku, bu Wulan dan pak Abrar dipojok ruangan. Aku merasa bagaikan dieksekusi kasus brutal padahal belum ada pertanyaan atau pembicaraan yang aneh.

“Safrizal ... Ibu nunggu jawabanmu.” Bu Wulan mengulang lagi.

“A ... a ... saya tidak tahu sekolahnya sudah aktif Bu. Kan masih Corona Bu.”

“Benar kamu tidak tahu? Masa sih? Rumahmu kan tidak jauh dari sekolah. Bisa kita lihat dari  pekarangan belakang sekolah. Jangan cari alasan yang tidak logika. Corona memang iya tetapi daerah kita wilayah hijau. Sekolah aktif tatap muka seperti biasanya. Ibu sudah share informasi di grup jauh hari sebelum sekolah aktif. Ada dibacakan?”

Aku memang tahu tetapi pura-pura tidak tahu dan kuabaikan. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. Aku memang setiap pagi berseragam sekolah tetapi tujuanku ketempat yang lain alias cabut.

“Kamu pikir Ibu percaya dengan ucapanmu?”

Aku tersentak mendengar jawaban bu Wulan. Memang benar juga sanggahan bu Wulan, tadinya aku hanya sekedar memberi alasan sesuai kondisi saat ini. Aku hanya menjadikan Corona sebagai kambing hitam. Nyatanya aku asyik main game online dengan seragam sekolah di posko langganan.

“Sesuai catatan Ibu, kamu tidak masuk kelas berturut-turut selama 14 hari. Itu sama juga dengan skala dua minggu. Selama itu pula kamu sudah banyak ketinggalan materi. Gimana rencana kamu kedepan?”

“Rencana apanya Bu?”

“Pake nanya lagi. Sekolahnya mau diterusin atau  berhenti sampai di sini? Ibu, paling tidak suka ya, siswanya tidak aktif. Jangan cari kambing hitam Corona, nonsen.” Bu  Wulan berkata dengan suara tegas.

“Maaf Bu. Insyaallah mulai besok saya akan aktif Bu.”

“Baik, saya pegang omonganmu. Awas kalau kamu ingkar janji. Satu lagi, tolong bawa pulang surat ini untuk wali kamu.”

“Tapi Bu ....”

“Tak ada tapi. Sekarang kamu sudah boleh kembali ke kelas.”

Aku kelur dari ruangan kantor dengan lesu. Tak masalah jika aku harus beradu argumen dengan bu Wulan wali kelasku tetapi oleh-olenya untuk dibawa pulang membuat aku pusing keliling. Jujur memang selama ini aku sudah membuat kesalahan.

Dulunya saat kelas sebelas, aku tidak pernah bolos kesekolah. Semenjak memiliki HP android pola hidupku ikut berubah. Itu yang kurasakan sekarang dan aku  terlena dengan bermacam game online. Saban hari, aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan bermain game online.

Aku dulu sianak yang minder karena tak punya HP. Beberapa kali kuutarakan harapan untuk memeiliki HP sama nenek hanya jawaban mengecewakan yang kuperoleh. Kedua orang tuaku sudah meninggal beberapa tahun silam. Aku hanya memiliki nenek yang mengandalkan kehidupan dengan menjadi buruh tani dan serabutan lainnya. Beruntung ada yang berbaik hati mengajak aku kerja sepulang sekolah.

Pekerjaan kudapat uang pun kupunya walau tak melimpah ruah sudah cukup bergembira dapat menabung hingga dapat membeli HP android. Kini aku bisa pamer dengan teman sekelas dan lainnya jika aku sudah bisa gabung bersama mereka bermain game online.

Aku tak menyadari akan langkah yang kuambil. Kecanduan game online telah membutakan pikiranku akan pendidikan. Siang hari bekerja dan tak mempunyai kesempatan untuk bermain game. Malamnya aku larut dari satu permainan ke permainan lain. Tak ayal, pagi harinya aku tak sanggup bangun dan selalu kesiangan. Efek kesiangan aku tidak berminat ke sekolah. Nenek selalu cerewet jika melihat aku tak ke sekolah padahal aku masih sangat mengantuk. Dengan sangat terpaksa aku pun bersiap-siap dengan seragam dan berpura-pura ke sekolah.

Sekarang aku menerima dampakknya. Surat panggilan wali ini menjadi dilema. Jika kukasih ke nenek pasti responnya panjang kali lebar, jika tidak kukasih pasti ketahuan sama bu Wulan. Dua-duanya bagai makan buah simalakama. Aku membolak balik amplop surat berwarna kuning gelap dan memasuki kekantong celana.

TERPEDAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang