1917, keserakahan manusia benar-benar hal menarik yang sangat menghibur. Mereka membantai dengan alasan melindungi diri, sementara yang lain meringkuk ketakutan di bunker-bunker bawah tanah tanpa bisa benar-benar terlindungi.
Aku dengar mendaftar sebagai prajurit menjadi kebanggaan zaman ini, tapi aku yakin itu hanya alasan agar diakui di lingkungan kehidupan. Tidak masalah. Aku selalu menyukainya. Kebodohan dan ketamakan mereka, tidak bisa berkaca dan merasa selalu yang utama. Manusia benar-benar sosok iblis yang sesungguhnya dan dunia sangat menarik karena keberadaan mereka.
Onmyoji itu pun sama. Aku sudah mencari di tiap waktu sampai ia terlahir kembali. Mencari jiwanya dalam bentuk sosok manusia yang berbaur dengan para bengis ini. Dan aku menemukannya di sebuah keluarga sederhana, tumbuh sebagai anak laki-laki pada umumnya.
Ia mendaftar masuk militer di usia enam belas, dan saat itulah aku memutuskan untuk ikut bermain dalam perang manusia. Mengusir kebosanan sekaligus menepati janji untuk membawakannya perlindungan.
Segala misi yang ia lakukan berbahaya. Lawan mereka adalah negara dari sebrang lautan, jumlah medan perang yang telah dilewati ada ratusan. Kini ia menjabat sersan, bersamaku menjalani sebuah misi di Selatan Siberia.
Tugas itu sederhana. Sesederhana meledakkan sebuah jalur kereta api yang mengarah menuju Vladivostok sebagai pengecoh ketika prajurit kami menyerbu militer musuh. Yang membuatnya tidak sederhana adalah ketika longsoran salju terjadi dan menimbun kami di bawah kaki gunung.
"Kita harus tetap buat ledakannya," ia berkata pada rombongan tim, "Jalur kereta ada di ujung sana, kita masih bisa."
"Meledakkannya dengan kita di sini akan membuat tempat ini menjadi makam."
"Kalau begitu aku akan melakukannya."
Bodoh.
Ia selalu bodoh. Memberikan seluruh hidup demi hidup lain yang tidak benar-benar memikirkannya. Memilih cara mati yang tidak perlu ia pilih hanya karena arogansi. Padahal dia bisa lebih dari ini.
"Kalau begitu aku juga," Benar-benar Onmyoji yang merepotkan. "Berjaga-jaga kau terbunuh sebelum mencapai ujung terowongan."
"Aku tidak akan mati semudah itu, kau bisa pergi."
Dia tidak tahu bagaimana kematian dapat dengan mudah datang padanya tanpa pengawasanku. Seakan memang tidak mengerti semua itu, dalam musuh bunuh diri yang konyol dengan alasan pengorbanan bodoh ini, ia meyakinkan langkah menuju kegelapan di depan mata. Membiarkan prajurit lain bertanya-tanya, tenggelam dalam rasa gundah dan sedih karena orang paling baik di tim ini akan menjual nyawa demi mereka. Bersamaku.
Perjalanan kami berhenti di jalan buntu. Ditutupi tanah dan putihnya salju, ia menyalakan bom itu sembari berharap daya ledaknya tidak akan mengenai prajurit di arah lain terowongan. Mulia.
Lorong ini gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya dari kelip merah tiap pengurangan detik di peledak itu. Ia tidak bisa melihatku, namun aku melihatnya dengan jelas. Rasa cemas yang ia tampilkan dengan menelan ludah dan menekuk tubuh.
"Kau takut?"
"Huh?" Dia tidak pernah takut mati. Tidak pernah takut terluka. Tidak pernah takut melepaskan segalanya demi segalanya.
"Kau takut kematianmu sia-sia?" Tapi aku tahu apa arti dari gundah yang berkecamuk di kepala, terpancar dari mata. Aku tahu, dan aku tersenyum sembari mengusap rambutnya yang acak-acakan dan penuh debu. "Aku akan pastikan kematianmu tidak sia-sia."
Ia tampak bingung. "Kau berkata seakan tidak akan mati bersamaku."
Aku memang tidak akan mati. Ledakan sebesar satu pangkalan militer tidak akan membunuhku, bahkan dirinya yang dahulu begitu hebat hanya dapat membelenggu seribu tahun. Andai keabadian ini bisa kutukar dengan kebahagiaannya—
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoir of Red Road
FanfictionKumpulan oneshot dari Jujutsu Kaisen. . . . Jujutsu Kaisen hanya milik Akutami Gege. Author tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfict ini.