Dingin pukul tiga. Masih terasa dingin, begitu dingin. Angin tak merasa sungkan menancapi tiap anak panahnya, meluluhlantakkan gemercik hangat. Bahkan seisi ruang tak satupun berpihak.
Ketika aku jatuh terpelanting hingga inti nestapa, semesta selalu membuat semua arloji di tatar ini tak pernah berjalan semestinya. Semesta tidak pernah membiarkan mereka berjalan dengan detiknya, dibuatnya tetap pukul tiga. Tidak untuk pukul empat, tidak untuk pukul lima, pun tidak untuk pukul dua.
Di relung dingin, tidak mampu untuk berhenti menanti rintih semburat cahaya sang surya. Tengadah dalam gigil yang berpanjatkan harap dan doa supaya lantas berakhir dingin pukul tiga.
salam, tepi jendela
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah dari Tepi Jendela
PoetrySebagai cawan bagiku tuk mengungkapkan rasa yang mungkin akan berserasi dengan siapapun manusia bumi di sudut sana, lalu merendah dan meninggikan kepak sayap bersama. terbang...