Balas Rasa

296 37 14
                                    

“Sekolah Menengah Atas adalah tempat untuk menimba cinta. Ah ... ilmu. Ok, boleh dua-duanya.”

***

Apa yang diharapkan oleh pelajar yang baru menginjak usia 17 tahun? Seperti remaja-remaja pada umumnya, laki-laki kelahiran Desember ini pun sama. Ingin mewarnai masa SMA-nya dengan goresan-goresan warna percintaan, ya, walaupun warna itu tidak selalu sempurna—cipratan warna yang dibuatnya tidak selalu mulus seperti dengan apa yang diinginkan. Dimana perutnya seperti digelitik bertubi saat bedekatan dengan perempuan yang disuka.

Tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas tersebut, Zweitson dengan percaya diri akan mengungkapkan isi hatinya kepada sang pujaan hati. Teman satu kelas ... oh bukan tapi kecengannya! Zweitson belum pernah pacaran dan ini kali pertamanya dia akan menyandang status berpacaran. Laki-laki berkacamata itu tidak diperbolehkan berpacaran oleh ibunya sebelum menginjak usia 17. Dan sekarang, Zweitson sudah terbebas dari salah satu aturan sang ibu tercinta.

Tidak tahu mendapat kiriman kepercayaan diri dari mana, dirinya sangat yakin jika perempuan yang dia maksud, selama ini memiliki perasaan yang sama sepertinya.

“Mine!” teriak Zweitson di koridor yang masih sepi. Seseorang yang dipanggil Mine menoleh dan melambaikan tangan disertai senyum khasnya, dia Jasmine Cantika. Sahabatnya sedari masa embrio. “Huh! Jadi gini, ya, rasanya datang pas masih sepi,” lanjutnya, lalu berjalan bersisian bersama Jasmine.

“Tumben, pasti ada apa-apa, nih. Iya, kan?”

“Beneran nggak tahu apa pura-pura siiiih.” Jasmine dibuat tertawa oleh rengekkan Zweitson. Tidak lama Jasmine mulai berpikir, dia memang tidak tahu ‘apa-apa’ yang dimaksudkan.

“Mau teraktir satu sekolah? Buat merayakan ulang tahun lo kemarin,” gumam Jasmine, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah itu.

Kelas X juga begitu. Ulang tahun ke-16nya, Zweitson merayakan dengan mentraktir teman satu kelas. Mungkin karena angka 17 itu spesial bagi Zweitson, Jasmine jadi berpikir kali ini traktirannya naik level. Satu sekolah tidak mungkin sepertinya, karena itu dapat membuat Zweitson tidak jajan selama dua semester. Mungkin satu jurusan, terdengar masih masuk akal.

Tetapi, mengingat kata spesial, Jasmine memutar otaknya. Tujuh belas, spesial. Jasmine menghentikan langkahnya. Dia menatap Zweitson penuh curiga. Tidak ada rahasia di antara mereka berdua, tak terkecuali masalah peraturan yang dibuat ibu Zweitson. Tetapi, yang Jasmine tidak tahu adalah, perempuan yang ditaksir oleh laki-laki itu.

“Gue mau mengempaskan status jomblo gue.” Dengan lantang dan semangat mengucapkan kalimat itu, seolah koridor adalah miliknya sehingga bebas untuk berteriak.

Dunia kedua remaja kelas sebelas itu seketika mencerah mengalahkan sinar mentari pagi. Jasmine seperti ikut terbawa melambung ke angkasa oleh kegembiraan Zweitson. Perempuan bersurai hitam itu pun sama-sama memiliki kepercayaan yang tidak kalah tinggi dengan Zweitson.

Zweitson merangkul Jasmine menuju kelas. Tentu dengan tawa yang masih menguar, walaupun tidak sekencang sebelumnya.

Semoga takaran berpikirnya tidak meleset jauh.

*

Di jam istirahat pertama, Zweitson dan Jasmine berhasil keluar sekolah. Mereka berbohong, mengatakan kepada satpam kalau bu Siti menyuruh untuk membeli sesuatu di luar sekolah. Nyatanya, keduanya pergi ke florist. Membeli bunga untuk acara Zweitson. Lagi-lagi Zweitson tidak peduli dengan aksinya, dia pikir itu hal wajar bagi pelajar. Lagian, kalau pun ketahuan berbohong dan harus berakhir di ruang BK, Zweitson sudah biasa. Dia bukan anak rajin dan selalu mendapat penghargaan. Datang di detik-detik gerbang tertutup rapat, melalaikan tugas, ke kantin saat jam pelajaran berlangsung bukan hal baru untuk Zweitson. Itu sebabnya Jasmine tadi pagi keheranan melihat sahabatnya sudah menginjakkan kaki di sekolah pagi buta.

Balas Rasa | ZweitsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang