"Sumpah! Gue nggak salah liat tuh? The Lady Killers duduk semeja?!"
Pekikan tertahan itu adalah salah satu dari segenap keheranan seluruh orang di kantin terhadap sekumpulan cowok beken yang menempati sebuah meja di tengah.
The Lady Killers, julukan ultimatum yang diresmikan oleh seluruh mahasiswa di kampus ini. Mendapat sorotan adalah kewajaran bagi mereka, dan menerima banyak pujian sudah menjadi ketentuan baku yang tak terelakkan.
"Muka Zaidan bening banget dah!"
"Gula kalah manis sama senyum Lionel, valid no debate!"
"Matrio tetep yang paling cool, sih."
"Yanan bener-bener representasi dari Prince Charming. Sayang udah taken huhu ...."
"Aih, demi apa? Ceweknya yang mana emang?"
"Anak performing art, bukan kuliah di sini tapi."
"Vibe-nya Naka paling gue suka, sih. Cold and dark, gemesh!"
"Beku sama gelep, gemes dari mananya coba?"
"Suka-suka gue, dong!"
"Lima visual ngumpul; damage-nya anjir! Nggak kuat gue!"
"Lebay lo!"
Begitulah kira-kira dialog yang terdapat dalam dengungan obrolan orang-orang di kantin itu. Sementara oknum-oknum yang dibicarakan tampak tenang menikmati santapan mereka di mejanya.
"Lagi pada ngomongin lo tuh, Ka," celetuk Yanan sambil terkekeh di sela kegiatan makannya.
Cowok yang disangkut-pautkan itu tampak tak suka dengan ledekan Yanan, lantas dia menangkap lalat yang terbang di atas meja dan melemparkannya ke mulut Yanan yang sedang terbuka.
Yanan yang kaget pun tersedak dan langsung melepehkan benda yang masuk ke mulutnya itu. Begitu melihat seekor lalat yang sudah tak bernyawa di tangannya, seketika dia terlonjak dari kursinya dan menjerit kencang.
"WOAAAAA!"
Bruk.
"Aduh!"
"Bhahahaha ...."
Sontak Yanan langsung menjadi pusat perhatian seisi kantin. Namun, yang menertawainya tadi bukan pengunjung kantin, melainkan tiga cowok kelewat tampan yang duduk semeja dengannya; Matrio, Zaidan, dan Lionel. Sedangkan Naka—sang pelaku pelontar lalat—tak mengacuhkan tragedi itu sama sekali.
"Mampus! Reputasi Prince Charming anjlok seketika. Hahaha ...," cibir Zaidan dengan tawa puasnya.
Sambil memegangi bokongnya, Yanan berusaha bangkit dengan ringisan ngilu di wajah. "Kelewatan lo, Ka, isengnya," rengeknya pada Naka, tapi cowok itu tak menggubris.
"Ya ampun, Yanan. Kamu nggak apa-apa?"
"Eh?" Yanan menoleh.
Seisi kantin yang semula menatap cemas dan khawatir pada sang idola kampus, sekejap kompak meneguk ludah kala melihat sesosok perempuan cantik bak malaikat yang menghampiri Yanan.
Para cowok di kantin itu menatap kagum pada perempuan, sementara para cewek hanya terdiam—yang dalam siratnya menyatakan keirian.
"Nggak apa-apa, kok, Kak." Yanan menanggapi ramah.
Scarlett, mahasiswi kedokteran semester tiga yang menjadi primadona kampus akibat parasnya yang super menawan. Kecantikannya jauh melampaui standar.
Suatu momen yang sangat epik ketika primadona kampus itu ternyata mengenali para Lady Killers. Meski kelima cowok itu memang terkenal, tapi tetap saja mereka cuma mahasiswa baru di sini. Eksistensinya belum sepenuhnya diakui oleh primadona kampus lain yang sudah senior.
"Ah, bagus deh. Lain kali lebih hati-hati, ya."
"Hehe. Iya, Kak."
"Ya udah, kalo gitu saya permisi. Duluan ya, semuanya!"
Scarlett melambai ke lima orang itu dan setelahnya beranjak pergi. Kemudian Yanan kembali ke tempat duduknya yang langsung dihantam dengan tatapan mendelik dari Zaidan.
"Kok, Kak Scarlett bisa tau nama lo?" tanyanya, terkesan seperti menuntut.
Sedangkan Yanan cuma mengangkat bahunya sekilas. "Ya, mana gue tau."
"Curang lo! Harusnya gue yang dikenal duluan sama Kak Scarlett. Gue, kan, lebih famous dari lo."
"Ambis banget, sih, lo jadi famous." Matrio yang tadinya cuma diam sambil memandang datar semua kejadian tadi mulai bicara dengan sebuah cibiran pada Zaidan.
"Tadinya, sih, enggak. Tapi, setelah ada kalian, gue jadi pengen buktiin kalo gue tetep yang paling ganteng," jawab Zaidan dengan menggebu. "Sekarang buktinya udah keliatan, sih. Followers gue lebih banyak dari kalian semua."
Mendengar penjelasan tak masuk akal itu membuat Lionel mengernyit. "Heh, mana ada itungan kegantengan diukur sama jumlah followers."
"Bukan masalah jumlah followers-nya, tapi recognition dari orang-orang yang setuju kalo gue ganteng itu, ya melalui keyakinan mereka untuk follow sosmed gue."
"Udah kali, ah. Ribut banget kalian ini." Yanan yang paling waras di perkumpulan itu pun menengahi.
"Langsung aja deh, Zed. Apa tujuan lo ngumpulin kita sekarang?" tanya Yanan, meminta Zaidan menjelaskan tujuannya mengumpulkan mereka di sini.
Zaidan pun mulai memposisikan duduknya agar lebih nyaman saat menjelaskan. Dia terdiam sejenak, memastikan keempat orang itu memperhatikannya saat ini. "Oke. Gue bakal jelasin," ucapnya sebagai pembuka.
"Tujuan gue ngumpulin kalian di sini sekarang adalah untuk ngajak kita semua bersatu," lanjutnya.
"Bersatu? Maksudnya?" Naka bertanya heran.
"Semacam aliansi?" Matrio ikut menerka.
Namun, Zaidan menggelengkan kepalanya. "Bukan. Maksudnya gini; Kita memang aslinya nggak saling kenal. Kita nggak ada yang tau latar belakang masing-masing. Dan kita juga nggak deket. Tapi, kalian semua tau, kan, kalo orang-orang nge-klaim kita sebagai The Lady Killers?"
Keempat orang itu terdiam menyimak. Pasalnya, ucapan Zaidan seperti akan berlanjut.
"Dari julukan itu, tuh, seakan menganggap kalo kita itu satu kelompok. Jadi, maksud gue, kenapa nggak kita jadiin beneran aja anggapan itu?"
"Lo mau kita ngebentuk geng?" Lionel memastikan.
"Entah apalah itu namanya, tapi ya semacam itu. Gimana?"
Matrio, Lionel, Yanan, dan Naka tampak tengah berpikir. Sepertinya mereka menimang ajakan dari Zaidan itu.
"Gue oke, sih. Lagian nggak masalah bagi gue buat jalin pertemanan." Yanan yang pertama kali menyatakan pendapatnya.
"Gue juga."
"Hah? Beneran lo, Ka?" Zaidan hampir saja histeris. Soalnya, dia sama sekali tak menduga Naka akan menyetujui tawarannya, karena cowok itu terlihat yang paling tak acuh soal hubungan sosial.
"Gue juga setuju," ungkap Lionel.
Senyum Zaidan makin mengembang. Tinggal satu orang lagi yang belum mengutarakan pendapat. Semua pun memusatkan atensi pada Matrio, menunggu laki-laki itu bicara.
"Ya udah, gue juga setuju, asal Yanan bisa jaga sikap."
"Lah, kenapa gue?"
"Nggak tau, gue cuma asal ngomong aja."
"Yeu ...."
Gelakan Zaidan menggema karena itu, padahal bagi yang lain itu tak terlalu lucu. Setelah tawanya berhenti, dia pun memajukan tubuhnya, lalu menepuk kuat di tengah-tengah meja.
"Oke, sip. Kalo gitu, mulai hari ini ...."
Ucapannya menggantung. Raut sumringahnya dihiasi tatapan yakin pada keempat orang lainnya. Kemudian, dia melanjutkan kalimatnya dengan nada pelan namun tegas.
"The Lady Killers are already official!"