"Gue kan udah bilang, kalau lo maunya begitu, just do it. Nyari pembenaran dan kesalahan nggak akan ada habisnya, Ren."
Satu-satunya orang yang terpikir dalam kepalaku setelah apa yang terjadi antara aku dan Aldian, hanya Tari. Apalagi kini aku tinggal di gedung yang sama dengannya. Pulang dari rumah Om Arlangga, aku langsung ke apartemen Tari. Menceritakan semuanya pada cewek itu. Termasuk kejadian satu minggu yang lalu dimana Aldian menciumku untuk pertama kalinya.
"Lo pasti berpikir gue munafik banget," desahku lalu membenamkan wajah ke dalam telapak tangan. "Kamarin sok-sok nggak, taunya jatuh juga."
Di luar dugaan, Tari justru tertawa. Menyenggol lenganku.
"Jangan samakan gue dengan netizen di luar, dong. Come on, manusia itu dinamis. Entah soal life style, mimpi, mood, bahkan perasaan. Apa yang lo rasakan hari ini bakal bisa berubah seminggu lagi, sebulan, lagi, atau setahun lagi. Lagian, siapa yang nggak bakal lemas dicium cowok se-hot Aldian?" katanya menaik turunkan alis, lalu menambahkan dengan senyum menggoda. "So, gimana rasanya make out sama Aldian?"
"Tar," mataku memutar, menatapnya tak percaya, "really?"
"Kenapa sih? Gue kan penasaran." Deliknya cuek. "Dari cerita Dira, ciuman Adrian itu gentle, soft gitu, nah, gue kan pengin tahu gimana saudara kembarnya. Bitting kiss? Earlobe kiss? Atau french kiss?"
Terkadang aku benar-benar nggak habis pikir dengan isi otak Tari. Gara-gara dia, aku kembali mengingat kejadian itu. Pipiku terasa panas. Tari bahkan mentertawakan perubahan biologisku sambil mengejek, "Ren, lo udah berapa lama sih nggak make out sama cowok? Sumpah, kayaknya lo memang harus belajar lagi sama Aldian." Yang bikin aku melemparkan bantal sofa ke wajahnya.
Cowok terakhir yang menciumku adalah Randu. Itupun bukan ciuman penuh gairah seperti yang dilakukan Aldian. Melainkan hanya kecupan singkat yang mungkin hanya berlangsung tiga detik. Dan itu sudah cukup lama, setahun yang lalu sepertinya. Jadi, wajar kan kalau aku agak nervous. Bahkan ketika Aldian benar-benar menemuiku malam itu, jantungku langsung berdetak cepat. Tanganku terkepal kuat saat membukakan pintu untuknya. Ia tersenyum padaku, tanpa beban, seolah tidak terjadi apapun. Bahkan ia sempat menanyakan aku sudah makan atau belum. Gestur Aldian benar-benar menunjukkan ia adalah player profesional.
Ia juga tak ragu sama sekali mengutarakan pemikirannya. "Gue rasa, setelah apa yang terjadi, lo tentu tahu kita nggak akan bisa jadi teman."
Kuberikan ia tatapan tenang. Kendati yang terjadi pada jiwaku justru sebaliknya. "So, sekarang lo mau jadikan gue salah satu teman tidur lo, begitu?"
Aldian tersenyum. Bukan jenis senyuman yang biasa ia tunjukkan dengan maksud untuk mengejek atau menggodaku. Melainkan senyum tulus yang ikut terpancar dari matanya. "You are different, Irene. Gue nggak akan munafik, gue memang mau tidur sama lo. But, kalau cuma sekedar itu yang gue inginkan, gue nggak akan repot-repot berteman dengan lo sejak awal. Spending time with you makes my day, " ucapannya yang sempat bikin aku tertegun hingga nyaris kehilangan kata-kata. Apalagi setelah itu ia melanjutkan dengan nada lembut. "And I think, I like you."
Aku menggigit bibir, nggak tahu harus ngomong apa. Mengalihkan perhatian darinya sambil meneguk soda di tanganku.
"Lo nggak perlu jawab apa-apa,"Aldian berkata lagi, sehingga kepalaku kembali berpaling lurus ke arahnya, "gue hanya ingin lo tahu. I'm done with our friendship. Gue nggak mau hanya sekedar teman dengan elo."
"Then, what are we now?"
Aldian tersenyum miring lantas menatapku. "Whatever you want us to be."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...