❊ 06 ❊

1.6K 166 44
                                    

Orang-orang berdatangan satu per satu, di tengah dinginnya hujan salju yang masih enggan berhenti sejak kemarin siang. Semua mengenakan mantel, dalamnya, semua mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang datang untuk berduka di kediaman Sawamura Ishida.

Di ruang tengah yang sudah dikosongkan, ada sebuah bingkai foto besar dikelilingi bunga-bunga mawar putih. Senyuman lembut pria di bingkai selalu berhasil menarik perhatian tiap tamu yang datang. Di bawahnya, dalam sebuah kotak persegi panjang dari kayu eboni, pemilik foto terbaring, mengenakan pakaian serba putih. Tanganya saling mengait di atas perut, rambutya ditata rapih, meski wajahnya ditutup dengan kain putih.

Hana hanya terdiam di rangkulan ayahnya, matanya merah dan sembab, air mata yang sejak kemarin tumpah akhirnya berhenti, pun itu karena Hana rasa air matanya sudah habis. Menangisi kepergian pria yang sudah melahirkannya, sejak kemarin, sejak ia dapat telpon dari Renji kalau Rei sudah tiada untuk selama-lamanya.

Keluarga, kerabat, sahabat dan orang-orang yang mengenal Rei datang untuk berkabung. Bahkan pegawai yang dulu bekerja pada Rei juga datang. Mereka tidak menyangka, lama tidak berjumpa, ketika datang malah untuk berduka. Tidak ada yang menyangka Rei pergi secepat itu, tidak ada yang bisa percaya Rei benar-benar pergi dari dunia. Tapi memang Rei sudah lama sakit, semakin lama ia di dunia, semakin lama ia kesakitan.

“Ren?”

Renji menoleh, Hana juga. Senyumnya lekas mengembang. “Kau datang.” Katanya pelan, setelah ia memeluk sahabatnya sejak sekolah dulu. Ia peluk erat-erat, tanpa mengatakan apa-apa, seakan Renji yakin kalau Kenzo pasti tau apa yang ia rasakan.

Hana masih terdiam, memperhatikan Renji dan Kenzo. Matanya melirik istri Kenzo, Hana turut tersenyum, lalu senyumnya ia lempar pada wanita di sambing istri Kenzo. Hana tau siapa, ia ingat, dulu ia pernah bertengkar berebut Renji dengannya. “K-kak.” Sapa Hana, suaranya bergetar.

Hana yakin air matanya sudah habis, tapi tidak. Waktu Yuu menariknya untuk dipeluk, Hana menangis lagi. Pelukannya terasa menyakitkan. Yuu hanya bisa diam memeluk, tidak berusaha menenangkan atau apa, tidak bisa. Ditinggal orangtua pasti rasanya sangat menyakitkan. Masih sulit dipercaya, kalau Rei benar-benar meninggalkan mereka.

“Hana, kau harus kuat.”

Hana mengangguk, ia mengelap air matanya dengan kasar. Sebisa mungkin ia kembangkan lagi senyumannya, “Terima kasih sudah datang, Ken-chan.”

“Rei sudah sehat disana, kau percaya? Aku bahkan yakin ia sudah bertemu dengan nenekmu.”

Senyuman Hana masih lebar, ia bahkan terkekeh meski masih ada air mata yang menetes. “Ya, Ibu sudah bertemu dengan ibunya Ayah. Ibu juga sudah bertemu dengan orangtuanya.”

“Kau kuat. Sangat.” Kenzo mungkin berhasil menguatkan Hana, mungkin, tapi Kenzo yakin kalau Hana memang gadis kuat. Hana sekuat Rei, itu yang Kenzo tau selama ini. Itu yang orang-orang percaya selama ini.

Selama berkabung, Hana tidak terlepas dari Renji. Renji juga seakan tidak mau melepas rangkulan atau gandengan tangannya, Hana selalu ada di samping Renji. Bahkan ketika di persembahan terakhir sebelum mengantar Rei untuk dikremasi, Renji masih tidak melepas Hana. Keduanya menghadap peti Rei bersama, meletakan bunga krisan putih di sana bersama-sama.

Sampai siang, meski Rei sudah dibawa untuk dikremasi, rumah duka masih saja ramai, masih ada yang berdatangan untuk berduka. Renji setia menyambut para tamu bersama beberapa orang lainnya, baru itu Hana melepasnya, putrinya memilih ke belakang, duduk di halaman belakang memandangi dua pohon loquat yang tumbuh bersebelahan.

Kedua pohonnya berbuah lebat, meski di musim dingin seperti ini. Hana ingat dulu ia yang menunggu-nunggu pohon loquatnya berbuah, setiap hari Hana menyirami pohonnya, sampai memakan daun pohon loquatnya karena tidak sabar, tapi setelah itu menyesal, esoknya diulang lagi. Hana ingat bagaimana Rei selalu menegurnya soal itu. Padahal setelah pohonnya mulai berbuah, Hana malah jarang datang ke rumah kakeknya ini untuk makan buah loquat. Hanya sesekali. Kini Hana pandangi, pohon tanda kelairannya yang bersanding dengan pohon milik ayahnya.

When The Sun Rises (Omegaverse) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang