Chapter DCCIII

2K 427 12
                                    

Aku masih terdiam, begitu juga Zeki yang turut mengatup rapat bibirnya sejak pembicaraan kami sebelumnya. “Ihsan, Huri, jangan murung seperti itu. Kalian, akan membuat Ibu bersedih kalau melakukannya,” ucapku pelan, sambil menyentuh pipi mereka berdua, hingga wajah mereka terangkat menatapiku.

Wajahku ikut terangkat, lalu bibirku tersenyum merekah, saat pandanganku itu jatuh ke arah pulau yang mengapung di sana, “Berbaliklah! Kita akan segera sampai,” tukasku dengan kembali tertunduk memandang mereka berdua.

Mereka berdua melakukan seperti apa yang aku pinta. “Di sana, terdapat sebuah Istana yang sangat indah. Istana, yang dipimpin oleh seorang Ratu. Kalian, akan sangat menyukai tempat tersebut saat kita berkunjung ke sana,” sambungku sambil sedikit maju lalu merangkul tubuh mereka berdua yang duduk membelakangiku.

Kepalaku kembali tertunduk, menatapi kepala mereka saat suara sedikit saja, sama sekali tidak keluar dari masing-masing bibir mereka. Suasana di perahu yang kami naiki benar-benar hening, hanya deru ombak dan suara tawa Takumi yang berada di perahu yang tak terlalu jauh dari perahu kami, yang benar-benar mengisi keheningan yang ada.

Dayungan di perahu yang dilakukan Zeki, berhenti. Dia beranjak, lalu melompat turun ke dalam air setelah meletakan kembali dayung yang sebelumnya ia pegang. “Pegangi mereka!” perintah Zeki, ketika dia sendiri berjalan, sambil menarik perahu milik kami mendekati pantai dengan seutas tali yang memang diikatkan di ujung perahu.

Zeki terus berjalan, dengan terus menarik tali yang melilit di pundaknya. Tubuhnya berbalik, lalu berjalan kembali mendekati kami, saat perahu milik kami itu sudah menepi ke pantai. “Seperti yang sudah aku duga, ada yang salah dengan tempat ini,” aku bergumam sambil beranjak lalu melangkah turun dari atas perahu.

“Apa yang kau maksudkan?” Zeki menyahut, diikuti tangannya yang bergerak meraih dan menurunkan Ihsan dari perahu.

Aku menunduk, lalu meraih Huri yang sudah beranjak berdiri ke gendonganku, “kalau aku tidak salah mengingatnya … Dulu, kita pernah diserang gelombang sebelum perahu milik kita menepi ke pantai, tapi sekarang,” ungkapku terhenti, seraya menoleh lagi kepada Zeki yang telah melingkarkan tas milik kami ke pundaknya.

Zeki berjalan mendekati Ihsan lalu menggendongnya, “kita tidak akan tahu apa yang terjadi sebelum memastikannya,” sahut Zeki diikuti tatapan matanya yang kembali jatuh kepadaku.

Mataku terpejam dengan helaan napas yang keluar mengiringi, sebelum akhirnya aku berjalan mengikuti langkah Zeki di sampingnya. Kami melangkah beriringan, mendekati Haruki yang berdiri di samping Aydin dengan Hikaru yang digendongnya. “Apa kita akan melewati gua yang dulu pernah aku lewati untuk keluar?” ungkapku hingga membuat mereka berdua menoleh kepadaku.

“Gua tersebut, hanya boleh dilewati oleh perempuan saja. Aydin, sudah mengirimkan burung yang dulu diberikan oleh Ratu Alelah, untuk memberikan kabar kepada mereka. Jadi, kita tunggu saja di sini,” jawab Haruki menanggapi perkataanku.

Pandanganku kembali beralih kepada Huri setelah Kakakku itu menyelesaikan kata-katanya. Kuusap lembut keningnya yang sedikit tertutup oleh beberapa helai rambut miliknya, “Putri Ibu, di mana senyummu? Ibu, ingin melihatnya,” tukasku pelan dengan wajah mendekat untuk mengecup pipinya.

Matanya yang menatapku itu beberapa kali berkedip, diikuti bibirnya yang gemetar sebelum wajahnya  tenggelam ke dalam pundakku. “Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu?” tanya Haruki sembari tangannya mengusap kepala Huri yang aku gendong.

Kepalaku menggeleng, “tidak terjadi apa-apa, nii-chan. Dia mungkin hanya kelelahan,” tuturku sembari berbalik dengan kembali berjalan mendekati bibir pantai.

“Huri!” Aku melirik sambil memanggil namanya.

Rangkulanku di tubuhnya kian mengerat saat wajahnya membalas tatapanku, “walau yang dikatakan Ayahmu itu benar, tapi mimpi buruk yang Huri dapatkan belum tentu terwujud. Jadi, dibanding bersedih … Kenapa tidak meminta kepada Deus, agar Ayah dan Ibu, selalu diberi kesehatan untuk selalu bersama Huri dan Kak Ihsan? Dengan seperti itu, baik Ayah dan Ibu akan baik-baik saja,” sambungku dengan senyum yang terlempar ke arahnya.

“Apa Deus itu akan mendengarkan perkataan Huri, Ibu?”

Kuraih dan kukecup tangannya, “tentu. Jadi jangan bersedih! Kalian berdua, adalah harta terbesar untuk kami berdua. Senyum Huri, senyum Ihsan … Merupakan kekuatan untuk Ayah dan juga Ibu.”

Kembali kutatap dirinya, sebelum aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya, “karena itu, di mana senyum dari Putriku? Ibu, ingin sekali meli-”

Kata-kataku yang belum sempat selesai diucapkan, terhenti oleh Huri yang dengan tiba-tiba memelukku, “Huri, hanya ingin selalu bersama Ibu, Ayah dan Kak Ihsan.”

“Ibu tahu. Ibu pun sama, Ibu pun hanya ingin bersama kalian. Ibu ingin melihat, kedua anak Ibu tumbuh dewasa. Ibu ingin menyaksikan, Huri tumbuh menjadi Putri yang dikagumi banyak orang,” sahutku, sambil mengusap kembali wajahnya yang sudah terangkat dari pundakku.

“Huri, dengarkan Ibu! Dunia ini, memang tidak adil untuk perempuan seperti kita, tapi itu bukan berarti … Kau harus menutup mata kepada mereka yang menderita di luar sana. Mungkin saat ini, kau masih belum mengerti dengan apa yang Ibu maksudkan. Namun, jika nanti usia Ibu berakhir, jika nanti Ibu tidak bisa menemanimu lagi … Pergunakan harta berharga yang Ibu tinggalkan untuk menolong siapa pun yang ingin kau tolong.”

“Harta berharga?”

Matanya terpejam tatkala aku kembali mengecup pipinya, “kau akan mengetahuinya nanti. Kau akan mengetahuinya, saat semuanya sudah terjadi,” ungkapku pelan sambil berbalik lalu melangkah lagi mendekati kerumunan.

Langkahku berhenti dengan kepala tertunduk, menatapi Takumi yang duduk berjongkok di tengah-tengah Izumi dan juga Ebe yang berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lakukan, Takumi?” tanyaku kepadanya yang tampak menulis sesuatu di pasir pantai mengguakan jari telunjuknya.

“Aku hanya menggambar, diriku sendiri, lalu Hikaru, Ihsan, Huri dan juga Miyu,” jawabnya singkat sambil terus menggerakan jari telunjuknya.

Lirikanku beralih kepada Huri, ketika tepukan pelan menyentuh pundakku beberapa kali. “Kau ingin turun?” Aku bertanya yang tak perlu waktu banyak untuk ia balas dengan anggukan kepala.

Aku mengikuti apa yang Huri pinta. Dia berjalan lalu ikut berjongkok di samping Takumi, setelah aku menurunkan dia dari gendonganku. “Kenapa gambarmu yang berada di tengah-tengah, seharusnya Kak Hikaru yang berada di sana. Dia Kakak kita, apa kau tidak ingat?”

“Apa seorang Adik, tidak boleh melindungi Kakaknya?” Takumi menyahut dengan tatapannya yang beralih kepada Huri.

“Saat besar … Aku, akan melindungi kalian, seperti Ayah yang melindungi Paman dan juga Bibi. Aku akan tumbuh kuat seperti Ayah, karena itu, aku berada di tengah-tengah.”

Bibirku tersenyum sesaat mendengar celoteh yang Takumi lontarkan. “Bahkan untuk sekarang pun, kau sudah terlihat mirip sepertiku, Takumi,” sahut Izumi sembari ikut berjongkok di samping Putranya, “saat kau nanti telah tumbuh menjadi laki-laki yang menakjubkan. Ayah akan mengajakmu pergi berperang, dengan seekor kuda yang langsung berdampingan dengan kuda yang Ayah tunggangi-”

“Izu-nii?”

Izumi menghentikan kata-katanya lalu tersenyum menatapiku, “aku sudah mengajarkan dia apa arti perang sejak lama. Jangan samakan, pola pikir anak-anak kita dengan anak-anak di luar sana … Seseorang dapat tumbuh kuat karena terbiasa, mereka pun harus tumbuh kuat untuk melindungi diri mereka masing-masing, dan kita sebagai orangtualah, yang harus menanamkan semua hal itu sebelum terlambat.”

Kata-kata Izumi berhenti diikuti helaan napas yang ia keluarkan, “aku mendengar perdebatan di antara kalian berdua saat di perahu,” ucapnya dengan kembali beranjak, “adik yang selalu aku jaga sejak kecil, yang entah sudah berapa banyak tangisan yang kami habiskan sebagai saudara. Aku tidak akan membiarkannya dihancurkan dengan mudah oleh seseorang.”

“Jadi berhenti mengatakan sesuatu seakan hidupmu akan segera berakhir! Itu benar-benar menyakiti telingaku saat mendengarnya. Apa kau meragukanku! Apa kau meragukan Haruki! Putuskan kepala kami berdua terlebih dahulu, sebelum mereka dapat meletakan jarinya kepadamu. Ini sumpah, di antara kedua-”

“Izumi, Sa-chan,” sahutan dari Haruki, memotong ucapan Izumi yang sebelumny dia ucapkan menggunakan Bahasa Jepang, “kita akan melanjutkan pembicaraan ini nanti. Burung yang sebelumnya Aydin kirimkan, telah kembali,” sambungnya dengan senyum kecil khas Haruki yang ia lemparkan kepada kami berdua secara bergantian.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang