Vote? Harus!
•
•
Komen? Wajib!√"saya nggak mau lagi pegang saham yang om kasih." Tuturnya dengan raut wajah datar.
"Kok manggilnya masih om si Ka?" seorang wanita paruh baya ikut duduk di antara mereka setelah menyuguhkan minuman yang baru saja ia buat.
"Maaf Y-ah." Dari dulu Azka tidak pernah merasakan sosok ayah. Hidupnya telah terbiasa tanpa pahlawan keluarga.
Hanya sosok ibu yang selalu setia menemaninya. Tapi, kini ia tidak bisa lagi menikmati hangatnya pelukan seorang ibu. Karena Tuhan telah mengambil nyawanya. Tepatnya tiga haru lalu, sebelum ia melangsungkan pernikahan nya dengan Bella.
Lelaki yang ada di depannya sekarang, atau lebih tepatnya ayah mertuanya, dulu sering sekali menyuruh Azka untuk memanggil dirinya dengan sebutan ayah. Tetapi Azka tetap memanggilnya dengan sebutan om.
"Kenapa? Bella ngomong apa sama kamu?" Ia sudah menduga jika kelakuan anaknya memang di luar batas.
Azka hanya menggeleng. "Azka cuma mau mandiri aja yah, Azka bakal ngurus restoran sambil kuliah. Insyaallah Azka sanggup nafkahin Bella dari hasil restoran itu." Ucapannya dengan mantap dan sama sekali tidak ada keraguan di matanya. Azka benar-benar yakin dengan keputusannya, ia tidak ingin lagi di cap pengen hidup enak oleh sang istri.
Restoran adalah salah satu kesibukan Azka, ia cukup bangga bisa memiliki usaha restoran walaupun tidak terlalu besar, ini adalah hasil jerih payahnya selama ini.
"Azka, dengerin bunda ngomong." Wanita paruh baya itu mendekat lalu memegang kedua pundak Azka. Ia sangat mengenal lelaki yang ada di hadapannya. Dari Azka kecil hingga kini tumbuh dewasa, ia tidak pernah membedakan Azka dengan Bella. Apapun itu yang Bella punya, Azka juga harus punya. Mainan berbie sekalipun ia belikan. Walaupun semuanya di tolak oleh Azka.
"Apapun itu yang keluar dari mulut Bella, jangan kamu masukin ke hati." Lanjutnya, seraya merapikan rambut Azka yang sedikit berantakan karena air hujan.
"Bunda yakin suatu saat nanti, Bella akan jauh lebih baik setelah hidup sama kamu. Bunda juga yakin kalau kamu kuat buat ngadepin sifat kekanak-kanakan Bella." Tetapi Azka sendiri tidak yakin dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh bunda. "Bunda semakin yakin, kalau Bella dulu yang bakal cinta sama kamu." Tuturnya lagi sambil tertawa kecil.
Ayah hanya menggeleng mendengar perkataan istrinya itu. "Bella ngomong apa Azka? Jujur aja sama ayah, dulu emang kamu nggak pernah mau terus terang sama kita. Tapi sekarang kamu sudah menjadi tanggung jawab ayah sama bunda."
"Enggak yah, ini emang keinginan Azka. Lagi pula Azka juga bakal megang perusahaan sendiri. Jadi Azka takut nggak bisa pegang janji sama ayah." Sembilan puluh persen memang karena ucapan Bella, tetapi sepuluh persen ia mampu untuk mengatasi perusahaan yang ayah kasih. Tapi ya sudahlah, lagi pula Azka juga sibuk dengan kantor sendiri.
"Yaudah kalo gitu Azka pamit." Setelah itu Azka menyalimi punggung tangan ayah dan ibu mertua nya itu.
"Kalau ada apa-apa bilang Ka, jangan sungkan. Inget! Posisi kamu di sini, kamu udah bukan orang lain lagi." Kayaknya bunda lagi nyindir Azka. Dulu kalau ada apa-apa, entah itu bantuan atau yang lainnya dari keluarga Bella. Pasti Azka selalu menyebut dirinya sebagai orang lain. Padahal jauh dari lubuk hati terdalam ayah dan bunda. Mereka sudah menganggap Azka sebagai anaknya sendiri.
"Iya Bun." Azka beranjak lalu keluar dari rumah yang bisa dibilang cukup megah.
•••||•••
"Huhf!" Bella membanting tubuhnya pada kasur king size kebanggaannya. Ia memejamkan sejenak matanya, lalu menatap langit-langit kamar. Matanya menoleh pada jam dinding yang menunjukan pukul sebelas malam, tetapi Azka belum juga menunjukkan batang hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellazka
Teen FictionAzka itu dingin. Bella itu bobrok. Bagaimana jika dua manusia yang saling membeci satu sama lain harus disatukan? Apalagi disatukan dalam sebuah ikatan yang sah, seumur hidup sekali. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak pernah terpikirkan ole...