9- Luka

2.2K 423 18
                                    

Lingka mengangkat wajahnya, menatap langit siang ini yang berwarna sedikit abu-abu. Mungkin hujan sebentar lagi akan turun. Napasnya terembus kasar, punggung Lingka tersandar keras pada kursi taman. Samudera tidak ada di sini, cowok itu sedang sibuk hari ini berefing tanding futsal untuk adik kelas besok. Samudera sendiri yang bercerita tanpa diminta.

Padahal Lingka tak peduli, ia malah bersyukur kalau cowok itu tidak muncul di sampingnya. Untuk saat ini yang Lingka butuhkan hanyalah ketenangan seperti hari sebelum Samudera hadir mengerecoki harinya.

Pipi Lingka masih terasa berdenyut, padahal kemarin sudah sempat dikompres menggunakan es batu, tapi tetap saja rasa sakit itu masih bersisa namun, semua itu tidak jauh lebih sakit daripada hatinya.

Lingka pernah berpikir, kenapa dirinya harus ditakdirkan untuk lahir kalau pada akhirnya hanya akan hidup menderita. Tak ada setitik kebahagiaan untuknya. Beribu pertanyaan sering kali datang, akan sampai kapan semua ini berakhir?

Apakah dunia Lingka akan terus begini? Memikirkan hal itu seperti tidak ada habisnya. Lingka menunduk menatap sepatu hitam miliknya, terlihat lusuh. Lingka jadi teringat kalau sepatu yang ia kenakan sudah lebih dari dua tahun lamanya.

Kilas balik saat Ibunya harus banting tulang mencari uang demi membelikan sepatu terekam jelas di otak. Bagaimana saat itu Lingka baru masuk SMA, tidak ingin kembali menjadi bahan ejekan. Rusmi benar-benar mengupayakan apapun demi Lingka, walaupun tahu kalau keadaan ekonomi sama sekali tidak mendukung.

“Kamu pikir aku bodoh apa Ar!” Suara teriakan seseorang menyentak kesadaran Lingka. Gadis itu menoleh pada sumber suara, menemukan sepasang kekasih tengah bertengkar.

“Ra, enggak gitu. Cewek itu bukan siapa-siapa aku.” Sang laki-laki terlihat kebingungan mencari cara agar si perempuan tidak marah.

Lingka sepertinya tahu siapa perempuan yang kini sedang memaki-maki pacarnya itu. Denara, kalau tidak salah. Dari berita yang ia dengar perempuan itu memang memiliki kekasih yang posesif. Lingka Cuma sebatas tahu bagitu saja, itupun dari gosip yang sering dibicarakan teman sekelasnya.

Meskipun sering menyendiri bukan berati kalau Lingka juga tidak mendengar segala celotehan teman sekelasnya.

Denara terlihat mendorong Arshan kasar. Kemudian berlari disusul Arshan sendiri. Cowok itu sempat melirik Lingka yang sejak tadi diam menyaksikan.

Bibir Lingka terukir senyuman kecut. Melihat kedua pasangan itu tadi membuat Lingka sedikit muak. Berpikir, mempunyai teman saja tidak mengenakan apalagi mempunyai pasangan seperti Arshan tadi.

Terkekang.

Tak ingin memikirkan orang lain lebih jauh lagi, Lingka bangkit, menyambar toples bening miliknya. Membukanya kemudian mengambil asal isi kertas di dalamnya. Kertas notes warna-warni itu terbuka menampilkan sebuah harapan yang pernah Lingka tulis sebulan lalu.

Napas Lingka terembus pelan. Tatapannya teralih pada notes yang tersisa di samping tempat ia duduk. Beralih Lingka mengambil ganti notes tersebut bersama pulpen. Lalu dengan segala angan serta keinginan, Lingka mulai menulis, berharap suatu hal kalau impiannya kelak akan terwujud satu persatu.

Dalam benak Lingka, Lingka ingin Ayahnya dapat berubah.

****

“Sorry, telat.” Lingka berjenggit mundur saat tiba-tiba Samudera datang dengan seragam OSIS yang benar-benar berantakan. Penampilan cowok itu sungguh mengenaskan, rambut acak-acakan, seragam dengan kancing terbuka dua di atas sehingga menampilkan kaos hitam yang cowok itu pakai juga keringat memenuhi dahi.

Samudera lelah, berlari dari Gymnasium menuju perpustakaan yang berada di lantai dua bukan opsi yang tepat kalau saja tadi Bu Amalia tidak mengancam di grup kelas akan menurunkan nilai bahasa Indonesia jika mangkir dari tugas. Guru berparas cantik namun, sedikit galak itu sedang ada acara membuat dirinya terpaksa meninggalkan tugas untuk kelas 12 Sains A.

Hei, Lingka! [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang