Seorang pemuda bersenandung kecil sembari merapikan rambut dan seragamnya, mengenakan jaket hitam setelahnya. Udara pagi ini cukup dingin, selepas subuh tadi hujan mengguyur bumi dan baru berhenti beberapa menit lalu.
Pemuda itu kini berdiri di depan cermin dengan senyuman manis yang terpatri di wajah tampannya. Perban di kepalanya sudah tidak ada lagi dan wajahnya telah terbebas dari lebam-lebam yang mengurangi kadar ketampanannya—hehe. Waktu telah berlalu sebulan sejak di hukumnya Araka karena bertengkar. Selama sebulan tidak ada kejadian-kejadian yang mengancam nyawa—maksudnya sang ayah sedang sehat. Paling-paling hanya mendapat tamparan, itu pun bisa terhitung di sebulan ini. Sungguh kemajuan yang patut diapresiasi.
"Agara lo itu seharusnya bersyukur, hidup lo itu udah enak, masih ada Ayah Bunda, punya adik yang manis-manis, difasilitasi, uang sekolah dibayari, kurang apa lagi coba hidup lo?"
"... Itu semua udah cukup. Jangan minta lebih, jangan jadi serakah!'
"... Okelah, waktunya berangkat ke sekolah!" Agara terkekeh geli, ia merasa aneh berbicara begini pada dirinya sendiri.
"Udah ah. Di luaran sana itu masih banyak yang gak seberuntung lo! Jadi Agara Vazryeel Andara, lo itu harus bersyukur dengan apa yang lo miliki sekarang. Sekecil apapun itu Agara. Hargai yang lo punya, jangan di sia-siakan!" Agara tersenyum pada pantulan dirinya di cermin. Tak dapat dipungkiri rona wajahnya terlihat pucat, sudut bibirnya pun dihiasi luka kering—didapatkan lima hari yang lalu.
Agara sama sekali tidak melunturkan senyumnya. Senyumannya masih terukir indah. Pemuda itu seakan-akan melupakan semua kesakitan yang ia rasakan.
Agara menuruni anak tangga dengan langkah cepatnya. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat. Agara tersenyum tatkala melihat pemandangan keluarganya yang tampak harmonis sedang menyantap sarapan, dengan tawa canda yang menyenangkan. Bahagia yang ia rasa, walaupun dirinya tidak termasuk ke dalam hal indah yang tertampil di depan sana. Tidak masalah.
"Agara!" Agara menampilkan senyum manisnya pada sang bunda yang berjalan kearahnya.
"Pagi Bunda!"
"Pagi sayang!" Liana tersenyum hangat, tangannya bergerak mengusap sayang surai Agara.
"Kamu senang banget kayaknya," ucap Liana sembari menaruh bekal yang ia bawa ke dalam tas Agara, dengan Agara yang memunggungi bundanya.
"Iya, Bunda cantik banget soalnya. Aga senang liatnya," ucap Agara mengedipkan sebelah matanya. Liana terkekeh kecil dibuatnya.
"... Bahagia terus ya, anak bunda." Liana mengusap pelan pipi Agara, tersenyum lembut padanya.
Agara melebarkan senyumnya menampakkan deretan gigi sebagai balasan. Tak berniat menjawab, apalagi mengiyakan permintaan sang bunda. Tidak ingin berharap atau pun membuat orang lain berekspektasi padanya, ia sama sekali tidak dapat memastikan apa yang dipinta akan terus datang menghampiri atau coba merealisasikannya.
️🛡️🛡️🛡️🛡️
Sudah, hancur sudah mood seorang Agara. Bagaimana tidak, teman-teman laknatnya itu tidak tahu diri semua. Lihatlah sekarang, Agara harus ikut membersihkan jejeran toilet yang tak tanggung banyaknya—tujuh pintu, menurutnya itu banyak walau dikerjakan empat orang.
Ya, walaupun toilet di sekolah ini bisa di bilang cukup bersih karena memang ada yang selalu membersihkannya setiap pulang sekolah juga di pagi hari. Namun sekarang mereka-lah yang menggantikan tugas paginya. Tidak sekotor toilet saat pulang sekolah, tapi tetap saja tidak bersih-bersih sangat juga karena pasti di gunakan mereka yang ikut kegiatan sekolah selepas pulang. Sebenernya tidak kotor yang bagaimana—membuat jijik atau sebagainya, mereka hanya perlu membersihkan pasir-pasir di lantai dan sedikit mengelap cermin toilet yang juga sebenarnya sudah tampak kinclong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scutum (Sedang Revisi)
Teen FictionAkan tiba masanya saat aku pergi dari dunia Saat janji yang aku ucapkan sudah terlaksana Saat dirimu mengatakan diriku sudah memenuhi yang kau pinta Dan saat Yang Kuasa bilang sudah tiba waktunya Karena memang seperti ini jalan kehidupannya seorang...