PROLOG

46 6 0
                                    

Hai! Selamat datang di duniaku!
Terima kasih sudah menyempatkan waktu kalian untuk mampir ke sini.

Apa pun yang terjadi dalam dunia ini, I hope, kalian enjoy, ya!

Seorang laki-laki berbalutkan seragam putih abu-abu berlari kecil, di belakangnya terlihat beberapa laki-laki sebayanya yang mengejar dengan tatapan nyalang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang laki-laki berbalutkan seragam putih abu-abu berlari kecil, di belakangnya terlihat beberapa laki-laki sebayanya yang mengejar dengan tatapan nyalang. Laki-laki tersebut terus mempercepat tempo larinya, dengan kakinya yang sedikit pincang.

"Sial! Kalo aja kaki gua gak sakit, gua ladenin tu anak," gerutunya.

Dia adalah Alvaro Kalandra, pelajar SMA berusia delapan belas tahun. Hidupnya jauh dari kata baik-baik saja. Bisa dikatakan, hidupnya teramat kacau. Keluarganya kacau, dan dirinya pun kacau.

Rumah adalah neraka kecil baginya, club dan kegelapan malam adalah surga dunianya, dan sekolah adalah penjara untuknya.

Baru saja Varo turun dari angkot yang membawanya dari rumah ke dekat sekolah. Namun, ia malah dikejar-kejar oleh musuhnya. Sial sekali dirinya! Jika tahu begini, lebih baik ia nebeng dengan sahabatnya.

Varo terus mempercepat larinya, tak memedulikan kakinya yang sakit. Pagar sekolahnya sudah terlihat, berarti sekolah sudah tak jauh di depannya. Varo memicingkan matanya, ketika melihat gerbang sekolah yang masih terbuka. Syukurlah, keadaan kakinya tidak memungkinkan untuk dirinya memanjat.

Varo menatap ke belakangnya. Laki-laki sebayanya itu tak ada lelahnya mengerjarnya. Kelihatannya beberapa laki-laki yang mengejarnya itu juga berniat berangkat ke sekolah. Terbukti dengan pakaian sekolah yang mereka kenakan.

***

Gadis dengan seragam putih abu-abu tersebut mengetuk-ngetukkan jarinya di atas etalase. Ia menunggu tugas-tugasnya di-print dengan tidak sabaran. Waktunya yang tersisa kurang dari sepuluh menit, tetapi tugasnya belum selesai di-print.

Namanya Syakira Talita, akrab disapa Ira. Gadis cupu dengan seragam kebesaran yang melekat di tubuhnya. Rumah adalah tempat ternyamannya, dan perpustakaan adalah surga dunianya.

Dialah gadis cupu dengan segala kepintarannya. Meski cupu, ia tak bisa dipandang rendah. Karena semua guru selalu membanggakannya, meski kadang masih ada saja yang tak suka.

"Ini." Seorang laki-laki yang lebih tua darinya menyerahkan tugas-tugasnya yang sudah di-print, lengkap dengan flashdisk milik sahabatnya.

"Berapa, Mas?" tanya Ira tak sabaran.

"Lima belas rebu," sahut laki-laki tersebut.

Ira pun langsung mengeluarkan uangnya yang pas dengan nominal yang disebutkan. Ia bergegas membawa lembaran kertas tersebut. Didekapnya erat kertas-kertas itu. Ia pun berlari, agar sampai ke sekolahnya tepat waktu.

Bruk

Varo bertubrukan dengan seorang gadis yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Itu artinya mereka satu sekolah. Kertas-kertas bertebrangan di trotoar tersebut. Gadis yang masih terduduk tersebut bergegas memungut kertas-kertasnya yang teramat berharga baginya.

Varo menatap wajah gadis tersebut. Terlihat guratan marah, ingin menangis, dan panik. Melihat raut gadis tersebut, Varo merasa bersalah. Ini bukan dirinya, jelas. Mengapa dirinya tiba-tiba bersimpati terhadap orang lain, bahkan pada gadis cupu di depannya ini?

Varo menatap ke belakang. Laki-laki yang mengejarnya tadi sudah tidak terlihat. Entah pergi ke mana mereka. Varo pun tergerak untuk berjongkok, dan membantu memunguti kertas-kertas milik gadis tersebut.

Varo mengambil kertas-kertas yang ternyata baru di-print tersebut. Itu tugas gadis cupu ini. Pantas saja gadis itu terlihat panik dan ingin menangis. Sepertinya gadis tersebut takut nilainya berkurang, pikir Varo.

Tatapan Varo terpaku pada selembar kertas yang baru dipungutnya. Di situ tercetak jelas nama gadis cupu yang ia tabrak ini. Varo pun mengeja nama gadis tersebut yang tertulis di sana.

"Syakira Talita," eja Varo lirih.

Varo tersentak kaget, ketika gadis bernama Syakira tersebut mengambil paksa kertas-kertas tersebut. Terlihat Ira begitu marah dan tidak suka dengan Varo. Varo hanya menatap bingung terhadap Ira.

Varo dan Ira sama-sama terdiam dan saling tatap. Ira dengan tatapan marahnya, dan Varo dengan tatapan bingungnya. Varo jelas bingung. Untuk apa Ira masih berdiri di sini? Apa yang ditunggu Ira?

"Kamu ndak mau minta maaf karo aku gitu?" tanya Ira kesal.

"Minta maaf?" Varo balik bertanya.

"Kamu ndak tau kata maaf, yo?" tukas Ira.

"Oh, tau. Jadi-"

Ira memotong ucapan Varo. "Ah, sudahlah. Buang-buang waktuku aja nungguin kamu yang ndak tau kata maaf."

Ira kembali berlari menuju gerbang sekolahnya. Sedangkan Varo hanya menatap punggung gadis tersebut yang semakin menjauhinya. Gadis itu benar-benar aneh. Ada hal yang tak Varo mengerti pada dirinya sendiri, sejak bertemu Ira.

Ia merasakan hatinya berbunga-bunga, ketika mengingat wajah kesal Ira. Ia bahkan tertawa sendiri mengingat hal tersebut. Lamunan Varo buyar, ketika mendengar teriakan dari depan gerbang sekolahnya.

"Heh, Alvaro! Sebentar lagi bel bunyi. Kamu ora punya niat bolos, toh?" teriak seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah gurunya.

"Enggak kok, Bu. Ini saya mau balik lagi ke sekolah," elak Varo lalu melangkah mendekati gerbang.

"Alasan saja kamu, cepat masuk! Gerbang mau dikunci," perintah guru bernama Bu Anggun tersebut.

Varo memasuki gerbang dengan cengiran khasnya. Ia lalu mencium punggung tangan Bu Anggun, agar wanita tersebut tidak membawanya ke ruang BK. Selepas salim, Varo melangkah cepat menuju kelasnya.

 Selepas salim, Varo melangkah cepat menuju kelasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sampai jumpa di lembaran berikutnya!

Orientasi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang