Kondangan

1 0 0
                                    

"Rere! Angkat jemuran, habis itu antar mama kondangan."

Sabtu minggu adalah waktu emas bagi budak perusahaan macam gue.

Tapi, waktu emas ini dengan kejam terenggut ketika Ibu Ratu sudah bertitah. Seperti sekarang ini.

Gue pun bangun dari tempat tidur demi melaksanakan perintah bunda ratu. Rebahan is over.

"Anak siapa lagi yang nikah ma?" Tanya gue sambil berjalan dengan sekeranjang baju kering di tangan.

"Itu, anaknya tante mariam. Tetangga kita dulu yang pindah ke Tangerang."

"Ohhh." Jawab gue seadanya.

"Denger-denger mantunya bule loh. Lumayan ntar kamu di sana TP TP."

Mulai kan

"Emang mama boleh anaknya di gondol bule? Ngga balik ke tanah air gimana?"

"Boleh, kalo itu mah gampang. Bisa di nego."

"Bahasanya mah, anak ko di nego."

"Loh la iya toh. Negosiasi itu bisa buat segala hal."

"Injeh bunda ratu." Gue pun pergi bersiap sebelum pembicaraannya tambah ngawur.

-----------

Bener yang di omong mama, pengantin priyanya bule. Ntah bule mana. Gue ngga tau dan ngga mau tau. Bukan urusan gue juga.

Tamu yang ada di sini hampir setengahnya orang asing dari berbagai benua. Pantas sih, karena katanya mempelai pria punya bisnis skala intermasional. Otomatis relasinya banyak orang dari berbagai penjuru.

Setelah memberi selamat kepada kedua mempelai, mama memisahkan diri untuk nyapa temen-temennya. Gue memanfaatkan ini buat isi perut sekenyak-kenyangnya.

Gue paling ngga suka lewatin kesempatan sih. Toh mereka menyiapkan semua hidangan ini dengan perasaan bahagia. Berharap semua tamunya menikmati.

Gue absenin hidangan di sini, semakin lama mereka berpindah di piring gue. Guepun memutiskan makan di meja ujung, lumayan sepi tamu. Jadi gue bisa makan dengan tenang.

Beberapa menit kemudia makanan di piring gue lenyap. Untuk kalian yang makan sedikit tapi gampang gemuk pasti iri lihat gue.

Selain wajah cantik dan otak cerdas yang tuhan anugerahin ke gue. Gue juga punya metabolisme yang baik. Sebanyak apapun makanan yang gue telan, maka semuanya akan terproses menjadi energi. Tanpa susah payah nge-gym badan gue tetep ideal.

Gue kembali ke tempat duduk dengan sepiring makanan manis. Mama sepertinya lupa kalau bawa anak gadisnya. Apa sih yang di obrolin?.

"Rere!" Nah iti dia, baru aja di omongin.

"Jeng, kenalin. Anak bontot aku. Rere."

Perasaan gue mendadak ngga enak. Secara di samping tante-tante yang di kenalin mama itu berdiri cowo cakep yang sudah matang. Alamat mama pengen panen kan. Panen mantu.

Demi sopan santu. Gue pasang senyum pepsodent dan cium tangan tante itu. Gue anak berbakti, yang menjunjung harkat dan martabat orang tua gue.

"Cantik banget jeng. Cocok ini, sudah mateng. Lunasin aja jeng."

Aduh, apaan ini?

"Psstt, ma. Mama punya hutang?." Bisik gue pada mama. Respon mama cuma nyubit lengan gue. Cupitannya kecil. Sakit baget cuk.

"Ini Dewa. Anak saya yang pertama. Punya hisnis sendiri, ganteng, setia dan bertanggung jawab."

Oke fixed. Temen mama sefrekuensi ini mah.

"Udah kenal mah. Rere bawahanku di kantor."

"Malam pak." Akhirnya gue menyapa atasan gue dengan ramah. Biasanya di kantor gue cuma menganggukan kepala sambil tersenyum.

Kasta gue di kantor masih sekelas rakyat jelata. Pekerja kontrak yang ketika ngga target siap-siap di pecat.

"Loh loh loh. Kok kamu ngga cerita sama mama Wa."

Setelah perbincangan yang tak tentu arah. Dengan berat hati mama gue undur diri. Sepanjang perjalanan pulang mamah selalu ngerecokin gue dengan pertanyaan tentang dewa. Belum juga gue selesai jawab sudah di timpali mama dengan pertanyaan baru.

"Re. Jeng ratih ngajak makan malam bareng nih. Harus cepet-cepet cari penjahit buat seragam ini."

"Arisannya di ganti malam ya mah, emnag sekarang harus pake seragam kalo arisan?."

"Ih, apaan sih Re. Bukan arisan. Tapi ketemu calon besan."

Tuh kan. Mama

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang