Aya berjalan secara perlahan menuju kelasnya. Bibir serta wajahnya terlihat pucat. Tak ada lagi hawa keceriaan dalam ekspresinya, yang ada hanyalah wajah datar dengan sorot mata yang tajam.
Ia menutupi kepalanya dengan sweater hitam yang ia gunakan. Berjalan menunduk tanpa mau melihat ke arah depan.
Hidupnya sekarang penuh kegelapan. Sudah tak ada lagi ruang untuk kebahagiaan. Hidupnya tertuju hanya satu arah, mencari kematiaannya.
Terus berjalan dengan terngiang ucapan papanya yang menyalahkan dirinya. Sekarang, dirinya bertanya-tanya, untuk apa ia dilahirkan? Untuk apa ia ada di dunia ini? Merasa takdir kejam menimpanya.
Sudah tak ada lagi waktu untuk bermain, sudah tak ada lagi candaan yang mendominasi. Hidup seakan lebih mengerikan jika ditertawakan. Kerena pada nyatanya, hidupnya hanya penuh warna remang-remang.
Tertawa, bercanda, tersenyum penuh keikhlasan itu tak ada lagi di hidup gadis ini. Yang ada, hanya luka setiap detiknya.
Aya memasuki kelasnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kedua kantung sweater-nya.
"Aya? Lo ke mana aja kemarin?" todong teman-teman Aya. Yaitu, Riska dan Najwa. Sedangkan Kayra lebih memilih mendiamkan Aya setelah melihat respon Akbar pada gadis itu. Berbanding terbalik dengan Sabrina, gadis itu cenderung pendiam dengan pikiran yang terus berjalan.
Aya tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya duduk di bangkunya dan pura-pura menyibukkan diri dengan ponselnya. Namun, hati dan pikirannya selalu tertuju pada adiknya, Aurel. Memikirkannya membuat kepalanya kembali pusing dengan bisikan yang kembali menyatakan bahwa ini semua terjadi salahnya.
Aya segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Kayra yang tidak menyapanya membuat suasana meja seperti tegang dan juga panas.
"Aya? Lo gak denger Gue?!" kesal Riska.
Aya menatap Riska dengan tatapan dingin dan tajam. "Kenapa?" tanyanya dengan suara rendah yang membuat semua orang merinding mendengarnya.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Najwa dengan menaruh punggung tangan di kening temannya itu.
Aya menepis pelan, "Gue gak apa-apa."
"Tapi lo panas, Ya," ucap Najwa dengan sedikit berteriak. Hal itu membuat seluruh isi kelas menatap Aya, termasuk Arjuna dan teman-temannya.
Aya menatap tajam Najwa, "Kan gue bilang, gue gak apa-apa," tekannya. Ia sedang ada masalah, jadi tolonglah, jangan menyenggol mood-nya.
Riska dan yang lainnya terkejut melihat Aya seperti itu. "Lo lagi ada masalah?" tanya Sabrina.
"Gak."
"Bohong!" sahut Riska.
"Iya, kok lo jadi sensian gini, sih? Biasanya, 'kan, kalau mood lo lagi jelek, berarti tandanya lo lagi kesel," sahut Sabrina.
"Iya, lo 'kan orangnya moodyan," celetuk Najwa.
"Iya! Gue lagi kesel sama kalian. 'Kan gue bilang gue gak apa-apa!" kesal Aya. Ia sudah mati-matian untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada teman-temannya, tetapi, temannya sendiri yang memancing. Emosi Aya sudah tak bisa ditahan lagi.
"Lo juga kenapa, Kay?" tanya Aya melirik Kayra yang sedari tadi diem saja. "Lo marah sama gue? Gara-gara Akbar?" lanjut Aya. Kayra tetap diam tak mengubris. "Bukannya lo tau? Kalau gue gak suka sedikit pun sama Akbar." Setelah mengatakan itu, Aya mengambil tasnya dan berpindah duduk di pojong belakang. Bersebrangan dengan Arjuna.
Ia menelungkupkan wajah di kedua tangannya dengan tas sebagai tumpuannya. Ucapan psikiater kemarin mengunjungi pikirannya.
Flashback On
KAMU SEDANG MEMBACA
JERITAN BATIN [TELAH TERBIT] ✔
Novela JuvenilSemua orang hanya bisa mendengarkan, bukan bantu menyelesaikan. Lantas, untuk apa bercerita kepada dirimu? -Ardelia Khanaya Dengan bercerita, luapan emosi keluar sudah. Batin yang selalu disiksa olehmu hanya butuh didengarkan, dengan siapa pun dan...