Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu***
Langit mendung bukan berarti hujan. Angin bertiup semilir bukan berarti pertanda badai. Pertengkaran bukan jadi tanda perpisahan. Mengatakan selamat tinggal bukan berarti meninggalkan.
Haidar masih enggan. Perasaannya carut marut. Matahari masih di sebelah timur, tandanya hari masih pagi. Burung tidak berkicau, sebagai gantinya seekor jangkrik berderik.
Tadi sebelum sopir mengantarkannya ke sekolah seperti biasa, Haidar menyadari Dion tidak bisa dipercaya. Ucapan kakak laki-lakinya itu kalau bapak ibunya akan baik-baik saja ternyata bohong.
Meja makan yang biasanya ramai penuh canda gurau berubah sepi senyap bak kuburan berhantu keramat. Kedua orangtuanya diam seribu bahasa tanpa bertegur sapa. Raga mereka ada di meja yang sama, namun jiwanya menolak untuk hadir.
Haidar tidak pernah membayangkan pertengkaran bapak ibunya bisa membawa pengaruh yang sebesar ini dalam hidupnya. Kepalanya jadi tidak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak kata 'andai' yang berspekulasi membuat skenario negatif bagaimana jika keduanya tidak segera berbaikan?
Ruang obrolan keluarganya pun sepi. Semenjak Haidar dimasukkan kembali ke dalam grup tidak ada percakapan apapun. Biasanya Herawan akan menanyakan Dion sudah sampai kampus atau belum. Atau Kartika yang akan mengirimkan bermacam-macam model baju, tas, atau sepatu minta divoting mana yang paling bagus. Dion adalah tim menyimak. Dan Haidar adalah langganan ditendang keluar dari grup karena terlalu berulah.
Hari biasa saat grup keluarganya ramai Haidar benci. Terlalu berisik. Tapi saat grup obrolan keluarganya sepi seperti sekarang dia jadi makin benci. Dia butuh kebisingan!
Katanya Keluarga (4)
Haidar:
perut adek sakit|
Mengemis perhatian. Barang kali bapak ibunya akan berbaikan dan luluh jika anak bungsunya terlihat menyedihkan.Selang lima menit, masih tidak ada balasan satu pun. Mereka bertiga membaca namun tidak ada yang merespon. Dion mungkin sedang ada kelas, Haidar mencoba maklum. Lalu ibunya? Bapaknya? Haidar sangsi kalau mereka sedang sibuk sekali. Tim menyimak memang paling bikin frustasi.
Dengan menggigit bagian dalam ujung bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit, luka di buku jari-jarinya dia kelupas kembali hingga berdarah. Lalu dengan ponselnya dia memotret tangannya. Mengirimkan foto tadi, memperlihatkan ke anggota grup bahwa jarinya terluka.
Haidar:
berdarah |
sakit |
:( |Hampir sepuluh menit Haidar menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Menunggu dengan harap ada satu bilik pesan masuk, meski hasilnya tetap nihil.
"Arrrrghhhhh!" Haidar bangun dari duduknya. Menendang kursi kayu taman belakang sekolah dengan kakinya yang dibalut sepatu dengan keras.
"Orang-orang ini!" kesalnya sambil melempar ponselnya ke tanah. Tidak sekuat tenaga tapi cukup membuat ujung ponselnya sedikit tergores.
"Liat aja nanti kalau sampe nggak ada yang bales, rumah bakal gue kirim rudal!" Haidar mengamuk sambil bicara sendiri.
"Awas kalian semua!"
Penghuni grup sudah Haidar tandai. Awas saja mereka bertiga.
Sembari mengatur nafasnya kembali tenang, Haidar merebahkan tubuhnya di kursi panjang taman belakang sekolah. Bentuk kursi taman yang panjang dan berundak seperti tribun membuatnya tak terlihat jika dilihat dari lapangan bawah. Jadi aman jika ada guru ataupun orang yang mencarinya, dia tidak akan ditemukan dengan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.