"Kemarin Ibu marah," katanya dengan mata terpejam.
Reynand menendang kerikil yang ada di halaman depan rumah Dion. "Marah kenapa?"
Tadi, pagi-pagi sekali Ratih sudah meninggalkan rumah untuk mengunjungi saudaranya. Wanita empat puluh tahun itu berpesan agar Anya mengundang temannya saja dan putrinya setuju. Maka di sinilah Reynand sekarang. Duduk berdua menikmati momen.
"Karna pulang malam."
"Itu sih Ibumu aja yang gampang khawatir, suka melebih-lebihkan," balas Reynand sambil mengibaskan tangannya.
Anya sedikit terkejut, bisa-bisanya cowok itu malah menyalahkan ibunya?
"Kak Rey, sih, maksa aku jalan terus."
Reynand menoleh ke samping. "Kamu sendiri, kenapa mau aku ajak jalan?" ia tersenyum lalu mengusap kepala Anya. "Namanya berjuang, sayang. Gak apa-apa kalau dimarahin."
Anya tersipu, sambil menahan malu ia mengumpat. "Semestinya kemarin kak Rey bisa jelasin ke Ibu."
"Itu salahmu. Bikin alasan aja gak bisa, payah!"
Reynand tak mau disalahkan. Toh ini memang bukan salahnya.
Sementara Anya merasa kesal. Bagaimana bisa ada orang yang tak mau kalah seperti cowok di sampingnya ini?
"Oh, ya, satu lagi." Pemuda itu mengelus singkat pipi Anya. "Jangan kebiasaan mengumpat, gak baik."
Ingin sekali gadis itu memekik. Reynand sangat pandai membolak-balikkan perasaannya. Dalam hati ia berjanji, akan terus berada di sisi pemuda itu. Apapun yang terjadi. Meskipun cowok itu mudah marah dan sedikit pemaksa. Anya tak peduli.
Percakapan mereka barusan terdengar oleh seseorang, Anya dan Reynand diikuti. Dan akan selalu begitu. "Gak mau disalahkan."
"Woy! Kalau mau pacaran modal dikit dong!" Panto berteriak dari ujung jalan.
Awalnya, ia dan tiga temannya berniat mengunjungi Dion, tetapi malah melihat pemandangan menggelikan seperti ini.
"Tau nih! Masa pacaran di depan rumah orang," ujar Abam lalu mendecih setelahnya.
"Bacot!" kata Reynand kesal.
Seorang pemuda berambut coklat datang menengahi. Ia menahan kedua temannya agar tak melayangkan kalimat pedas pada cowok tempramen itu.
Setelah lama berpikir, akhirnya Rafael membuka suara. "Gita ... apa kabar?"
Anya terperanjat, tak lama ia mengontrol kembali ekspresi wajahnya. "Gita baik, kok."
Rafael mengangguk lalu berlalu masuk diikuti temannya. Anya menunduk setelah memastikan cowok itu benar-benar pergi, ia sedih. Sejujurnya, masih ada sedikit perasaan untuk pemuda itu.
"Hei, gak perlu murung. Ada aku di sini," kata Reynand yang terdengar sangat lembut di telinga gadis itu.
Benar. Untuk apa mengharapkan seseorang yang tak pernah menatap kita? Masih ada orang baik di samping kita, orang sabar dan bisa menjadi pendengar yang baik. Itu saja sudah cukup.
-o0o-
Mengintip dari balik jendela adalah hal yang sedang dilakukan oleh keempat pemuda itu. Lucu saja ketika melihat sikap manis Reynand dan tingkah Anya saat tersipu.
"Hm, Kak." Panggil gadis itu setelah lama terdiam. "Ini luka bakar, ya? Dapat dari mana?"
Reynand menoleh, menatap tangannya yang sedang berada dalam genggaman Anya. Ia berpikir sebentar lalu berujar dengan santai, "Kena api waktu bakar gudang."
"Kenapa gudangnya dibakar?"
"Di dalamnya ada mantanku."
Anya terkejut. "Mantan?"
"Iya, mantan boneka," jawab Reynand sambil tersenyum lebar.
Panto berbicara dengan suara pelan, "Lo pada percaya?" tanyanya pada ketiga temannya yang ikut mengintip.
Dion, Rafael, dan Abam menggeleng bersamaan sebagai jawaban.
"Masa aku bakar orang sih? Mending kujadikan sate aja," imbuh cowok itu sambil tertawa kecil.
Anya merinding, entah mengapa ada perasaan aneh yang menelusup dalam dirinya. Reynand terlihat berbeda dengan senyum miring itu.
"Kamu keliatan takut." Ia terkekeh. "Kalau kamu gak ngecewain aku, kamu gak bakal berakhir kayak boneka itu, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...