10 || Come to Dinner

4.4K 678 11
                                    

What-?

•●◇★◇●•

Aelion menghela nafas lelah.

Menatap kakaknya yang sedang menyengir tidak jelas di hadapannya, setelah mengusir Violet dengan mengancam pelayan itu untuk tidak buka mulut tentang keberadaannya disini.

Artheen masuk kedalam kamar Aelion menggunakan sihir teleportasinya. Aelion pula sempat mengomel mengapa perlu memanjat menara Antares sampai ke kamar hanya untuk melihat Aelion jika ada sihir teleportasi.

"Terlalu susah. Jika aku tiba-tiba muncul ke kamarmu dan ternyata masih ada ayah, kepalaku bisa terpenggal."

Aelion membulatkan matanya. "Jadi daritadi kau bergelantungan di luar selama pr- Ayah ada disini?" Aelion meralat katanya. Benar-benar tidak sopan jika ia menganggap ayahnya sendiri dengan sebutan 'pria itu' dihadapan kakaknya.

Artheen menggaruk kepalanya. "Y-yah."

Aelion membenarkan duduknya. Ia menatap Artheen bertanya-tanya. "Namamu siapa?"

Artheen mendongak pelan. "Artheen. Artheen Easter. Aku punya satu kembaran bernama Arleen Easter."

Aelion menganggukkan kepalanya mengerti. Mereka berdua diam.

"Jika ada yang ingin kau ketahui tanyakan saja." Tawar Artheen.

"Berapa pangeran yang ada disini?" Aelion segera bertanya.

"Sembilan- emm sepuluh termasuk dirimu." jawab Artheen dengan tatapan menerawang. Aelion hampir tersedak mendengarnya.

"Sepuluh?! Apa tidak kebanyakan??"

"Hei, hei tenang, Kaisar Easter terdahulu ada yang bahkan mempunyai 23 selir, 34 anak, dan 46 cucu. Hanya ayahlah yang paling sedikit haremnya. Kau tahu kan maksudku harem? Selir."

Aelion memegang buku pelatihan sihir yang diberikan Anthera dengan erat sampai kuku jarinya memutih. Ia tak menyangka, jika anggota kerajaan bisa sebanyak itu. Kakaknya juga banyak. Bagaimana jika ia tak hapal nama-nama mereka nanti? Memikirkannya saja ia malas.

"Kau sedang belajar sihir ya?" Tanya Artheen tiba-tiba. Aelion mengangguk mengiyakan.

"Wew, pada saat umurku 5 tahun sudah diajarkan sihir. Kau benar-benar terlambat belajar, ya? Selama 13 tahun ini kau ngapain saja, huh?"

Aelion menelan ludahnya susah payah. Jika ia pikir ulang, Aelion asli menghabiskan waktunya untuk meratapi nasib dan berdiam diri dikamar tanpa melakukan apapun. Ia tak bisa mengendalikan sihir sesuka hatinya karena sihirnya tersegel gelang dari ibunya. Anthera pun hanya bisa mengajari seadanya. Sampai saat ini Aelion baru belajar Armorise.

"Ah, Armorise ya? Katanya sihir itu memang bekerja dengan baik tanpa harus dikendalikan atau dipelajari. Sihir yang hanya ada pada keturunan inti kerajaan." Kata Artheen sembari menepuk dadanya bangga. Aelion hampir tersedak untuk kedua kalinya. Ia menatap kaget kakaknya yang melihatnya kaget juga.

"M-maksudku, aku- aku bisa membaca pikiran seseorang jika aku mau. Aku hanya membaca saat kau memikirkan Armorise itu. Arleen juga punya! Aku lain kali tidak akan membaca pikiranmu." Jelasnya gelagapan.

Aelion tak menjawab. Ia menghela nafas sekali lagi dan bersandar di kursinya. Hening kembali.

Artheen sesekali melirik interior kamar adiknya yang terlalu kuno, jauh lebih sederhana daripada kamar saudara-saudaranya yang lain. Ia mencium sedikit aroma jejak sihir yang khas. Artheen mengernyitkan dahinya.

"Apa seorang penyihir tadi datang kemari? Siapa?" Tanyanya heran.

Aelion mencoba mengingat siapa penyihir yang masuk ke kamarnya, kemudian mengangguk mengiyakan.

After Life: ReincarnationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang