Memaknai Kehidupan

19 2 0
                                    

Aku menyangka bahwa kematianlah jalan terbaikku. Terlahir dalam keadaan prematur, bukan pelukan seorang ibu, bukan juga balutan kain hangat, tetapi inkubatorlah yang menjadi naungan pertamaku. Tumbuh dengan fisik yang lemah membuatku tak bisa seperti anak-anak lainnya. Hidupku dipenuhi penyesalan, kenapa aku dilahirkan seperti ini?

Perlahan aku mulai memahami makna sesungguhnya hidup ini. Tuhan tak sembarang dalam mencatatkan takdir makhluk-Nya. Kita tidak bisa memilih ingin dilahirkan seperti apa. Tetapi, setiap yang terlahir berhak untuk hidup dan menikmatinya, tanpa perlu khawatir keadaannya. Perjalanan hidupku telah mengubah cara pandangku selama ini.

***

Hari itu, seperti hari biasanya, mentari bersinar dengan teriknya. Kumekarkan payungku tuk melindungiku dari panasnya hari. Terasa aneh memang, melihat remaja laki-laki memakai payung padahal tidak hujan. Sorotan mata mengejek mengarah padaku.

"Panas gini aja udah payungan, kayak nenek-nenek aja." Disertai nada tertawa yang meledekku. Ledekan itu sudah menjadi makananku sehari-hari. Perasaan marah pastinya ada, tapi apalah dayaku dengan tubuh lemah ini. Jikalau nanti malah terjadi pertengkaran, aku sendiri yang akan repot. Jadi mengabaikannya merupakan pilihan terbaik bagiku.

"Hei kalian berdua!" Teriak seorang perempuan dari kejauhan, "Apa gunanya sih mengejek orang begitu?" Suaranya yang nyaring membuat mereka pergi menjauh. Tak kukenal siapa dirinya. Ia arahkan senyuman di wajahnya padaku. Tak peduli aku dengan sikapnya itu, segera kulangkahkan kakiku 'tuk pulang. Paling-paling ia hanya mencari perhatian orang-orang sekitar.

Tak setiap saat aku bisa pergi ke sekolah. Aku harus menyisihkan dua hari tiap bulannya untuk kontrol di rumah sakit, sehingga membuatku tertinggal beberapa materi pelajaran di sekolah. Keadaan membuatku tak dapat berjuang di bidang olahraga, maka dari itu aku harus mengejarnya di bidang akademik, setidaknya itu yang kupikirkan.

Tak banyak yang dapat kujadikan teman di sekolah, mungkin mereka takut tidak sengaja berbuat sesuatu yang dapat menyakitiku. Terlebih lagi di tahun kedua ini aku berada di kelas yang baru dengan orang-orangnya yang juga baru bagiku. Aku tak tahu siapa yang dapat kumintai tolong untuk meminjamkan catatan materi saat aku tidak sekolah. Tiba-tiba sebuah buku disodorkan padaku yang tengah melamun di mejaku.

"Nih," ucapnya sambil tersenyum, "aku tahu kok, kamu lagi butuh catatan pelajaran kemarin kan?" Dia cewek caper waktu itu. Terdiam dan bingung reaksiku.

"Ya ini, catatan pelajaran kemarin," ucapnya yang lagi-lagi disertai senyumannya itu.

"Aku nggak butuh itu," kataku sambil kupalingkan diriku darinya dan dengan sigap kakiku melangkah keluar kelas. Aku benci dengan orang seperti itu, aku benci dengan sikapnya itu, senyumannya seolah-olah sedang mengejekku. Keceriaan dirinya itu seperti tengah menampik semua penderitaan di dunia ini. Ingin menularkan keceriaan itu padaku? Ingin membuatku tersenyum sementara aku hidup dengan keadaanku seperti ini? Jangan bercanda. Senyuman wajahku telah direnggut di detik pertama aku lahir di dunia ini.

Ramai keadaan kantin siang ini, termenung aku menatapnya dari koridor lantai 2 gedung sekolah. Bebas mereka memilih makanan yang mereka suka, tanpa perlu memikirkan dampak ke depannya. Kuingat pertama kali saat aku mencoba es serut, malamnya aku langsung demam disertai batuk-batuk tak henti. Bosan aku mendengar dokter yang melarangku makan ini dan itu. Aku terlahir ke dunia ini, tapi kenapa aku tak boleh menikmati hal-hal di dalamnya, seperti halnya anak-anak seumuranku?

Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now