Garis dua.
"Kok bisa sih?"
Tangan Metha gemetaran menatap benda pipih itu. Matanya menatap ke segala arah dalam kamar mandi. Hal yang tidak inginkannya terjadi sekarang. Metha berdecak kesal dan membuang benda pipih itu ke tempat sampah di sebelahnya bersamaan dengan suara ketukan pada pintu.
"Non, ditunggu Den Alan di bawah."
Metha menghela napas dalam sambil membuka pintu kamar mandi. Suasana hatinya memburuk.
"Suruh tunggu, Bi."
Malas-malasan Metha berganti pakaian. Pilihannya jatuh pada turtle neck dress berlengan panjang warna hitam. Dress itu melekat pas di tubuhnya dengan tinggi tepat di atas lutut. Mata Metha jatuh pada bayangan perutnya di cermin. Diusapnya perut itu pelan. "Aku nggak tahu mesti senang atau gimana, tapi apakah kamu benar-benar ada di sana?"
Metha meringis, dirinya berpikir sudah gila berbicara pada sesuatu yang belum pasti. Bisa saja alat itu memberikan hasil yang salah. Diusapnya perutnya yang masih terlihat rata sambil berjalan menuju meja rias.
"Biarin aja tuh playboy cap jangkrik nunggu lama," gumamnya kesal sambil memoles bibirnya dengan lipstik warna nude. Sengaja berlama-lama berdandan.
Sudah setengah jam baru Metha keluar dari kamarnya. Tangannya menjinjing heels-nya dan menuruni anak tangga. Di lantai bawah sana seorang lelaki duduk menunggunya dengan gelisah. Begitu melihat Metha berdiri di depannya, matanya berbinar. Lelaki itu, Alan berdiri menghampirinya.
"Sori, lama."
Alan tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Metha. "Nggak apa-apa. Kita berangkat sekarang?"
"Nggak, tahun depan." Bukannya menerima uluran tangan itu, Metha malah memberikan sepatu yang dibawanya pada lelaki itu.
Kekehan terdengar dari mulut Alan. "Kamu nih! Sukanya becanda mulu. Aku makin suka."
Metha memutar bola matanya, berjalan keluar rumah tanpa menunggu Alan yang sekarang menyusulnya. Membuat Alan tersenyum dan merasa tertantang oleh sikap Metha. Susah ditaklukkan. Dan salah satu tantangan menarik untuk Alan.
Selama makan malam pun, matanya tidak lepas dari Metha. Menurutnya malam ini, Metha lebih cantik. Bibirnya tampak menggoda, lekuk tubuh Metha begitu seksi. Mata Alan hampir tidak berkedip menatap Metha. Dia masih lelaki normal yang bisa terpana melihat perempuan cantik di depan mata.
"Ngapain lihatin aku terus?"
Bibir Alan melengkungkan senyum. Dia suka sekali sikap blak-blakan Metha. Lebih tepatnya bar-bar. Selama ini tidak ada yang menolak pesonanya. Banyak perempuan yang menatapnya lapar, bahkan rela membuka pahanya lebar-lebar untuk Alan. Mereka bersedia menjadi teman satu malam untuknya. Sedangkan Metha? Boro-boro ikut mengantri, melirik Alan saja Metha terlihat enggan. Membuat Alan bertekad untuk mendapatkan Metha dengan cara apapun. Demi serangkaian rencana yang sudah tersusun rapi di otaknya.
"Kamu cantik malam ini."
"Dasar laki-laki! Di mana-mana sama saja!"
"Jujur salah, ngegombal juga salah!" gumam Alan pelan tapi masih bisa didengar oleh Metha. "Aku culik juga nanti."
Metha mendelik. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
fortunately love
RomanceRepost dengan isi cerita baru Masih tentang Metha Rehan. *** Pertemuannya kembali dengan cinta monyetnya membuat Metha lupa jika dia baru saja bertunangan dengan si Alan. Perjodohan bodoh itu terpaksa dilakukannya untuk mendapatkan hati ibunya, hing...