Tell me that you still don't regret it
Tell me if we still have something in common
Wе don't get back the time wе've lost
Give me a kiss and lower me from the cross.────────────
"EMORI?"
Ah, sial.
Pantas saja antariksa tampak temaram sekalipun seharian telah dikemas oleh semburat iluminasi Phoebus, ia berikhtiar memperingatiku perihal konfrontasi tak terkonsep ini.
Untuk kesekian kalinya, insufisiensi tinggal di sebuah kota kecil adalah mempersempit kesempatanmu untuk menjaga jarak dari seseorang. Dan dari seluruh skenario berpapasan secara insidental, itu harus terjadi ketika aku sedang mereguk legit kue mangkuk di kedai Something Sweet.
Nyaris tersedak puder limun, aku lekas menenggak air demi membilas rempahan tersebut sebelum mendelik ke arah si pemuda yang muncul tiba-tiba. "Serius, Jim, jangan mengejutkanku seperti itu, aku sedang makan."
Jimin terkekeh kalem, mengambil kursi kosong dan menempatkannya di sampingku. "Maaf, aku sudah memanggilmu berkali-kali."
"Bohong."
Serupa dengan fluktuasi jantungku, aku tidak bisa menyelipkan dusta dengan mengatakan presensinya tidak membuatku berdebar lagi. Sudah dua pekan penuh aku tidak mendengar kabar darinya, seolah-olah dia sungguh menghilang tanpa trek eksistensi. Tetapi sekarang, Jimin terduduk di sampingku, masih tampan seperti biasanya. Netra berbentuk almon dengan tatapan inosens itu membuat partisi kerinduan kian masif, namun corak argentum yang kini memulas surai menyebabkan perpaduan disharmonis.
Eden dan gehena.
Penampilan Jimin memang konstan membuat pejalan kaki terpana, kerap kali memaksa mereka melakukan lirikan ganda, wanita atau pria bahkan anak-anak kecil, semua orang tidak akan bosan bertatapan dengannya. Anggap diriku sangat beruntung kapabel mengklaim dirinya sebagai mantan kekasih, paras majestik si pemuda Park senyatanya bukan lelucon. Namun, siapa sangka bahwa pemuda yang tampak rupawan, sehat dan stabil memendam begitu banyak simpul kepiluan sampai-sampai pendar deragem itu stagnan mengekspos apa pun kecuali euforia.
Seulas senyum menghampiri birai, jemarinya secara naluriah menyeka ujung bibirku yang kuyakini terpatri sedikit krim kue mangkuk. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik, kurasa." Sentuhan Jimin hampir mencemari kinerja serebrum hingga kue mangkuk terasa pahit di lidahku. Aku lupa bagaimana rasa jemarinya merambat di atas epidermis, betapa subtil dan kordial cara Jimin memperlakukanku dalam setiap kesempatan. "Apa yang kamu lakukan di dekat sini?"
"Jalan-jalan saja," ucapnya sambil mengedikkan bahu. "Bagian dari prosedur awal Fayre, dia bilang itu bisa sedikit membantu menjernihkan pikiran."
Aku menaikkan alis terkejut. "Kamu menemuinya?"
Jimin mengangguk. "Aku tidak memercayai siapa pun, tapi aku lebih memilih menemui seseorang yang pernah kukenal daripada orang asing."
Keheningan seketika menyentak atmosfer, labium mendadak tersegel rapat. Aku membutuhkan sepersekian sekon guna menyaring klausa yang Jimin ungkapkan. Tidak memercayai siapa pun, ya? Lantas selama ini apa kepercayaannya tidak pernah memihak padaku? Ah, rasanya ingin menanggalkan tawa getir yang menggembung dalam sistem respirasi.
Bukankah seharusnya itu tidak membuatku terkejut? Setengah kehidupan Jimin dapat dikatakan hanyalah kebohongan belaka, apabila dia tidak mempunyai isu kepercayaan sekarang, barangkali aku yang akan mengantongi ragam inkuiri. Itu hal yang wajar bagi penyintas komplikasi psikis, 'kan? Tetapi, di sini, dengan konyolnya aku masih berpikir bahwa delapan tahun sudah cukup bagi Jimin untuk mengaransemen ulang kepercayaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020