Gelap itu perlahan terkalahkan oleh satu sumber cahaya. Terang yang menyilaukan, namun membuat Adara ingin membuka matanya lebih lebar. Langit-langit UKS berwarna putih pucat adalah pemandangan pertama yang menyambutnya.
"A-ah ..." Adara meringis kesakitan. Usahanya mengangkat kepala berbuah denyutan-denyutan yang menyiksa.
"Ra, nggak usaha bangun dulu!"
Adara membulatkan mata heran melihat Melisa tiba-tiba telah berada di samping kasur tempatnya berbaring. Ah, tidak hanya Melisa rupanya. Adam, Yasmina, Fikri, dan ... Aldi, juga hadir mengerumuninya.
"Gue pingsan, ya? Berapa lama?" tanya Adara parau. Kepalanya kembali menyandar ke bantal kasur UKS.
Yasmina mengambil duduk di pinggir kasur Adara. "Nggak lama, sekitar seperempat jam. Suster Laila bilang, bau-baunya lo nggak sarapan tadi pagi, ya?"
Adara meringis lebar. Akhir-akhir ini, sarapan merosot menempati tempat-tempat terbawah dalam daftar prioritasnya. Pun, makanan-makanan yang memasuki mulut Adara terasa hambar. Ia sekadar menelan, menjejalkan kerongkongannya dengan suapan setengah terkunyah, kemudian segera menghabiskan waktu untuk memikirkan hal lain. Hal lain itu berbentuk seseorang yang sedang terkulai di ranjang rumah sakit.
"Ck, jangan berani-berani nggak sarapan, Ra! Lo nggak boleh sakit, harus kuat! Harus ... bisa nemenin Lio sampai sembuh," ujar Melisa yang diakhiri oleh sebuah nada sendu.
Yasmina sempat ingin mengatakan sesuatu, tapi suara Fikri memotong cepat.
"Makan," ujar lelaki itu singkat sambil mengulurkan sebuah roti isi pisang cokelat ke arah Adara.
Adara tersenyum melihat gestur itu. "Iya, aku makan. Makasih, ya."
Yasmina dan Melisa menumpuk beberapa bantal supaya Adara bisa duduk sambil bersandar di sana dan menyantap roti. Kali ini, Adara berniat untuk benar-benar berkonsentrasi mencerna potongan roti yang mulai memasuki mulutnya.
"Ra, sorry ganggu. Gue cuma mau ngabarin, lo boleh istirahat di rumah, kalau lo mau, habis ini," ucap Aldi yang langsung membuat Adara menghentikan kunyahannya.
"Gue ... dapet izin nggak sekolah?"
Aldi tersenyum kecil. "Lo baru aja berhasil jadi anak kesayangan Pak Hermawan, tahu."
"M-maksudnya?"
"Yang di GOR tadi, Ra. You were so brave. Gue bisa lihat itu. Banyak orang bisa lihat itu, termasuk kepala sekolah kita."
Adara mengernyitkan dahi tak percaya. Matanya menelusuri wajah milik teman-temannya yang lain. Semuanya menunjukkan binar persetujuan.
"Gue pikir, gue ngaco banget tadi. Motong pembicaraan Pak Hermawan, terus ngomong di depan satu angkatan sambil terbata-bata ... Eh, masih ditambah pingsan." Adara menggaruk ujung hidungnya yang tak gatal. "Ternyata ... tadi nggak se-messed up itu, ya?"
"Lo sempet keliatan nervous bentar, tapi lo tetep lanjut bicara ngeyakinin kita semua. Jujur aja, Ra ... gue kepingin juga nyampaiin apa yang lo sampaiin tadi ke orang-orang, but I don't have the guts. You have." Ini adalah kali pertama Adam angkat bicara setelah Adara siuman. Adara hanya bisa mengerjapkan mata tak percaya. Ia benar-benar tidak terlatih menerima pujian.
"Adara keren," tambah Fikri. Lagi-lagi singkat, tapi sukses membuat Adara makin salah tingkah.
"Oh ..." guman Adara tak jelas. Semua pujian ini terlalu memabukkan untuknya. Pipinya mulai merona. Spontan, gadis itu menutup muka dengan kedua tangan dan menggeleng-gelengkan kepala dengan heboh. "Jangan gitu, gue bingung mau nanggepin gimana!" rajuk Adara berulang-ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Fiksi RemajaAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...