rumah pohon

62 5 1
                                    

"Kak Rey pergi," Gadis itu terisak. "Sama yang lain."

Gita mengusap punggung sahabatnya berusaha menguatkan. Sejak tadi Anya mati-matian menahan air matanya, berusaha nampak baik selama jam pelajaran berlangsung.

Alam seolah mengerti keadaannya. Sekolah pulang lebih awal, jadi ia tak perlu menunggu lebih lama lagi. Mereka hanya berdua di kelas, Anya masih setia menangis dalam dekapan sahabatnya.

Gadis bermata almond itu nampak geram, ingin sekali ia melayangkan tinjunya pada cowok bernama Reynand Adiputra. Tak peduli jika harus adu jotos dengan seorang laki-laki sekalipun.

"Dasar cowok gak punya hati!" ujarnya pedas.

Anya terkekeh, gadis itu selalu suka saat sahabatnya membela dirinya, juga saat Gita mengumpati seseorang yang menyakitinya. Ia merasa seperti orang yang sangat penting dalam hidup Gita, meskipun memang seperti itu kenyataannya.

"Nah! Udah berenti nangisnya." Gita menghentikan gerakan tangannya --mengusap punggung Anya. "Mendingan kita jalan-jalan aja. Beli baju deh, mumpung belum sore banget."

Anya menggeleng lalu tersenyum kecil, sedikit menampakkan gigi kelinci yang membuatnya semakin menggemaskan. "Gue gak ada uang," katanya lalu terkekeh.

"Gue beliin, dah."

Netra gadis itu berbinar. "Beneran? Ciyus gretong?"

Gita berjalan lebih dulu menuju parkiran. "Kalau lo masih nanya, gue berubah pikiran!"

"Iya iya!" Anya menyusul sahabatnya, menyamakan langkah lalu kembali bertanya, "Mau beli di mana?"

"Gue tau distro bagus di sini. Sumpah lo harus liat koleksi baju mereka. Racun banget!"

Anya memutar bola matanya malas. Gita ini meskipun tomboi, tapi hobi belanjanya setara dengan gadis-gadis feminin lainnya.

"Emang ada yang sebagus itu? Apa nama distronya?"

Gita bergerak aktif dengan menganggukkan kepalanya cepat. "Ada!" Beberapa anak rambutnya bergoyang tertiup angin. "Namanya Di."

"Di?"

"Bukan. Maksud gue, nama distronya D, bener-bener huruf D doang."

Anya membulatkan mulutnya. "Aneh banget namanya, tapi terserahlah."

Selama di perjalan mereka hanya diam. Anya fokus menikmati setiap hembusan yang menerpa wajahnya, sementara Gita sibuk menatap ke jalanan sembari menjaga keseimbangan sepeda yang dikayuhnya.

Susah dipercaya memang, ada yang masih menggunakan sepeda di zaman yang secanggih ini. Namun, itulah kenyataannya. Selain sehat, sepeda juga bisa mengurangi polusi, begitu katanya. Benar-benar gadis pencinta alam.

"Masih jauh?"

Gita menggeleng, masih fokus pada jalanan di hadapannya. "Enggak, tapi kalau bosen, lo boleh main game di hp gue."

Anya mengernyit. "Gue harus pegangan biar gak jatuh, gimana ceritanya mau main game?"

Sambil mempercepat laju sepeda, gadis itu terkekeh. "Itu sih masalah lo."

Anya ingin memukul kepala di depannya. Namun, ia mengurungkan niat. Takut tidak jadi dibelikan baju, apalagi sampai diturunkan di tengah jalan. Gadis itu menggeleng berusaha mengenyahkan niat buruk itu.

"Nah, sam--"

"Kok gini?"

Gita mengangkat bahunya. "Terakhir kali gue ke sini, masih bagus, kok."

Keduanya memilih berkeliling, memperhatikan tempat itu dari segala arah. Rusak, hancur, rata dengan tanah. Papan nama distro itu roboh dengan sedikit warna kehitaman di pinggirnya.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang