damai

62 8 2
                                    

Dion duduk di sana, dengan kaki menggantung dan mata tertutup. Semilir angin membuat beberapa anak rambut cowok itu bergerak ke sana kemari. Cahaya jingga dari matahari membuatnya semakin ... sudahlah, lupakan saja.

Anya memberanikan diri menaiki tangga satu persatu, mengapa perasaannya mendadak tak enak? Dion tidak akan mendorongnya dari atas sana, 'kan?

Dengan perlahan gadis itu mendudukkan dirinya tepat di samping Dion. Sementara cowok itu masih setia menutup mata, sesekali menggoyangkan kakinya di udara.

Anya tak tau harus memulai percakapan dari mana, tenggorokannya tercekat. Berulang kali gadis itu membuka mulut hendak berbicara, berulang kali pula ia mengatupkan bibirnya semula. Duduk di samping pemuda itu membuatnya sulit bernapas. Canggung rasanya, pipinya bahkan terasa panas, aneh.

"Maaf."

Cowok itu menoleh pada sumber suara, menatapnya beberapa detik dari samping. Dengan segala keterkejutannya, Anya membuang muka, kaget sekali.

Dion mengembalikan posisi wajahnya, menghadap ke depan. Seulas senyum terukir selama beberapa saat, sudah lama ia tak mengerjai gadis itu.

Anya sudah kembali rileks, justru ia sedang menahan kesal sekarang. "Denger nggak, sih?"

"Maaf buat apa?" Dion kembali menutup matanya.

"Maaf karena udah ngabaikan larangan Kakak."

"Reynand--"

"Iya, dia pergi sama cewek lain."

Dion tersenyum miring. "Mampus."

"Kok malah dimampusin, sih?"

Pemuda itu menoleh. "Suka-suka gue, dong! 'Kan gue yang punya mulut."

Dion ini ... menyebalkan juga, ya.

"Jadi, aku dimaafin nggak?"

"Hmm."

Anya sumringah. "Dimaafin, nih? Serius? Aku janji deh bakal ngikutin semua larangan Kakak, aku juga bakal bantuin beresin distro."

"Gak jadi."

Gadis itu bangkit, menepuk seragamnya untuk menghilangkan debu lalu mulai melangkah. "Terserah."

"Iya iya. Gitu aja marah, baperan!" Setelahnya Dion terkejut, mengapa tangannya bisa berada di sana?

Masih dengan posisi duduk Dion memegang lengan gadis itu, menahannya agar tak pergi lebih jauh. Segera saja ia melepaskan tangannya.

Anya berkata gugup. "Siapa yang baperan?!"

"Lo."

"Itu tadi taktik. Biar Kakak maafin aku."

Dion mencebik. Anya itu ... ngeselin.

Tak apa, cowok itu tidak akan tinggal diam. Ia juga akan membuat gadis berkacamata bulat itu menahan kesal. "Siapa yang bilang kalau gue di sini?"

Gadis berpipi tembam itu kembali duduk. "Kak Rafael."

"Gue kira Reynand."

Anya menutup matanya, berusaha meredam sesuatu yang akan meledak. "Aku nggak kenal sama orang itu."

"Terus, yang katanya pergi sama cewek lain siapa?"

"Nggak usah dibahas!"

"Yang kemaren pacaran depan rumah gue siapa?"

Gadis itu diam.

"Yang hampir nonjok gue--"

"Nyebelin nyebelin nyebelin! Kak Dion nyebelin!"

Cowok itu terkekeh. "Kena lo," ucapnya dalam hati.

"Ketawa terus!"

Dion masih tertawa, malahan semakin keras. Matanya menyipit, gingsulnya sampai terlihat. Tangan cowok itu terulur mengusak pucuk kepala Anya. "Ngegas mulu."

Bibir gadis itu mengerucut. "Aku mau pulang!"

"Ya, udah, pulang sana," katanya Dion sambil menjauhkan jari-jarinya.

"Tapi udah hampir gelap. Aku numpang sama Kakak, ya?"

Cowok itu berdiri. "Gak."

"Pelit!"

"Lo harus minta maaf dulu sama gue," katanya setelah mengambil kunci motor dan jaketnya dari dalam rumah pohon. Pemuda itu juga tak lupa membawakan tas milik Anya.

Wajah gadis itu memerah, marah. "Minta maaf kenapa lagi? Aku nggak salah!"

"Mau pulang, gak?" Dion berjalan lebih dulu, menuruni anak tangga perlahan.

"Labil," kata Anya sembari mengikuti langkah pemuda itu.

Cowok jakung itu diam, menunggu Anya yang masih berada di anak tangga keempat. "Lo gak akan menang kalau debat sama gue."

"Kalau gitu, damai aja." gadis cantik itu melompat kala jaraknya dengan tanah sudah tak terlalu jauh. Berikutnya ia mengacungkan jari kelingking. "Damai?"

"Deal."

Keduanya berjalan bersisian menuju gudang.

"Dipikir-pikir, kayaknya Kakak udah nggak jahat lagi."

"Lo kira, selama ini gue jahat?"

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang