Bagian 2 : Cium Kening

8.5K 292 41
                                    

Aku termangu dengan tangan bersedekap. Perutku terasa melilit, aku lupa bahwa aku belum makan apa pun sejak semalam. Bude Ajeng tengah memakaikan kain berwarna putih di wajahku.

Rasanya tidak nyaman, kain itu menutup sebagian wajahku. Sekarang, malah hanya menyisakan sepasang mata saja yang kelihatan.

“Bude, ini apa sih? Aysha gak mau pakai ini,” gelengku menolak mengenakan kain putih yang kini sudah menutupi wajahku.

Kerudung panjang menutup dada masih bisa kuterima, walaupun aku merasa kegerahan.

“Ini namanya cadar.”

“Cadar?”

“Pakai saja, ya. Ini permintaan suami mu, Aysha,” kata Bude Ajeng memperjelas.

Aneh-aneh saja, sih. Buat apa dia meminta aku menutupi wajahku begini. Apa jangan-jangan dia mengira wajahku jelek. Sialan sekali, belum tahu dia siapa yang sudah dinikahi. Aku, Rumaysha Zahratunnisa, dikenal paling cantik satu RT, begitulah yang selalu diucapkan sahabatku, Radhia.

Sayangnya, Radhia harus dikirim ke pesantren oleh kedua orang tuanya.
Sejak Radhia di pesantren, aku jadi tidak punya teman berbagi.

Radhia pulang sewaktu lebaran idul fitri. Saat itu aku tahu darinya, bahwa tinggal di pesantren itu seperti di penjara. Tidak bebas, banyak larangan, dan yang paling penting tidak boleh menggunakan ponsel.

Mengerikan, aku tidak mau ke sana.

“Sudah selesai. Kamu bisa keluar bersama dengan ayah kamu, Aysha,” ucap Bude Ajeng tersenyum.

“Bude,” panggilku berbisik pada bude Ajeng.

Aku menengok ke kanan-kiri, takut ada yang mendengar.

“Nggih,” jawab bude Ajeng mendekatiku.

“Apa orang itu malu menganggap aku jelek, jadi dia malu kalau wajahku terlihat oleh banyak orang?” tanyaku hanya penasaran.

Kalau benar begitu, awas saja nanti, batinku tak terima.

Bude Ajeng malah tertawa.

Apanya yang lucu? Aku menggeleng keheranan.

“Bude kok malah ketawa?” Aku bertanya, karena memang tidak ada yang lucu sama sekali.

“Aysha, justru sebaliknya," kata bude.

“Sebaliknya gimana?”

“Suami kamu tidak ingin kecantikanmu dinikmati banyak orang,” terang bude Ajeng.

Ah, kenapa bisa begitu. Bukannya kecantikan malah harus ditunjukkan. Setidaknya, dia patut bangga jika istrinya cantik. Pikiranku, sih, begitu.

“Kok aneh sih, Bude,” ucapku polos.

Bude menggeleng ringan. “Sudah. Kamu harus segera menemui suamimu, ya. Ingat, jangan bikin malu. Kamu harus ikuti arahan, sopan, hormati suamimu ya, Nduk.”

Aku hanya menganggukkan kepala.

Memangnya aku mau apa, aku pasti sopan, batinku.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang