01

19 6 6
                                    

Langit sudah cerah dan para siswa sudah mulai berdatangan meramaikan kelas. Suasana pagi hari di hari Senin sama seperti minggu-minggu lalu.

"Hei! Bangun! BANGUN!"
Sekretaris kelas membangunkan keduanya dengan suara nyaring yang sungguh-sungguh merdu.
Gadis dengan penampilan kelewat rapi itu bahkan sampai memukul-mukul meja untuk membuat keributan agar gadis pemalas yang sedang tidur dihadapannya ini segera bangun.

"Jangan teriak kenapa sih?" Brigita-sigadis pemalas yang sedang tertidur bergumam dan bergerak tidak nyaman dalam posisi tidurnya.

"Heh! Bangun! Ini sekolah, jangan tidur mulu! Yang lain lagi pada kebersihan, hebat sekali anda bisa tidur nyenyak begini!" Adinda-sisekretaris kembali memukul-mukul meja untuk membangunkan gadis itu.

Brigita menghela napasnya. Dengan malas, dia menegakkan punggungnya. Dia menatap Adinda dengan penuh kekesalan.
"Iya tahu. Nggak perlu teriak-teriak juga. Emang lo pikir suara lo merdu apa?"

Mendadak kelas hening seketika ketika mendengar penuturan Brigita. Suara Adinda adalah hal paling terlarang dalam kelas mereka untuk disinggung atau dikomentari. Semua orang yang ada di kelas mematung menatap Brigita.

"Hehehe, si Brigita lagi bercanda saja, kok. Ayo temani gue ke ruang guru sebentar." Ririn-wakil sekretaris segera menarik tangan Adinda. Dia tidak ingin ada pertengkaran atau teriakan dahsyat di pagi awal minggu mereka ini.

"Gue tandai lo, ya?" Adinda menatap Brigita dengan tatapan penuh amarahnya sebelum berbalik badan dan mengikuti langkah Ririn.

Setelah Adinda dan Ririn keluar dari ruang kelas, Brigita menggidikkan bahunya tak acuh. Dia tidak peduli dengan amarah Adinda dan malas memikirkan apa dampak dari amarah gadis itu. Adinda memang dikenal dengan amarahnya dan sifat tempramennya. Walau begitu dia merupakan salah satu siswi paling disiplin seangkatan mereka. Yah, tipe-tipe orang kesayangan guru.

"Jangan tidur lagi! Sini bantu bersih-bersih!"
Brigita memang siswi hebat. Semua pengurus kelas mereka turun tangan menyuruh dia kebersihan. Sampai ketua kelas mereka sendiri pun turun tangan.
Padahal dia bukan orang yang hebat dalam kebersihan.

"Rio! Gue mau tanya. Fungsi sekolah itu apa sih?" Brigita bertanya dengan malasnya.

"Yah untuk belajar. Untuk apa lagi?" Rio-siketua kelas meletakkan penghapus papan tulis di tempatnya.

"Nah, pinter anak mama. Jadi kenapa kita perlu repot-repot ke sekolah? 'Kan kita ke sekolah untuk belajar. Jangan begolah mau disuruh kebersihan." Brigita bangkit dari duduknya. Dia harus sesegera mungkin lari dari kelas itu, karena sepertinya dia tidak akan bertahan lama karena sudah melihat Raphael memperhatikan dirinya dan pada akhirnya harus ikut kebersihan.

"Oh, iya. Kenapa gue bego selama ini?" Rio terlihat berpikir. Sepertinya selama ini dia merasa sudah dibodoh-bodohi.

Brigita tertawa dengan terpaksa.
"Iya. Makanya jangan mau dibodoh-bodohi." Brigita mulai berjalan keluar dari kelas.

"Anak anjing! Contoh-contoh anak anjing!" Si wakil ketua harus turun tangan menyadarkan ketua mereka yang sepertinya mulai kemakan kata-kata busuk Brigita.

"Emang iya kita ke sekolah untuk belajar. Guru juga ke sekolah untuk mengajar. Jadi siapa yang mau bersihin sekolah kalo begitu, bego!" Raphael-si wakil ketua menggetok kepala Rio agar segera sadar.

Terlalu MalasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang