Harus Pindah

19 1 0
                                    

Aku terbangun ketika hari mulai naik, ternyata Wina dan Siska juga demikian. Wajar saja, semalam kami menghabiskan waktu sampai larut. Melihat Siska yang masih mengulat aku langsung teringat malam tadi.

Di luar langit tampak berwarna. Jendela terbuka, kusempatkan diri menghirup udara pagi yang sudah terlambat. Jendela kamar di sisi kanan kamar mandi kembali terbuka.

Wina akhirnya yang pertama kali bersuara hari ini, "Aku beli makan dulu ya, enaknya apa?"

"Sudah jam segini apa saja," sahutku ala kadarnya.

Wina segera berjalan ke luar. Kembali kuamati jendela itu. Tak lama kemudian aku ke kamar mandi untuk menyikat gigi, diselingi mengecek pintu kamar tersebut. Masih digembok hari ini.

Siska menunggu giliran masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Ia sempat-sempatnya mengomentari kamar itu. "Bang, kamar yang ini kosong ya?"

"Jelas lah, digembok begitu."

Siska menyunggingkan bibir saja, tetapi ia membuat permintaan aneh sebelum masuk ke dalam. "Tunggu sebentar, bang, sebentar aja."

Bagaimana mungkin aku berdiri sedangkan dia menutup pintu rapat-rapat. Apa sih maksudnya? Dalam hati aku mengatakan anak ini merasa tidak nyaman di dalam sana.

Siska sudah selesai dengan urusannya, tidak langsung masuk kamar, tetapi berdiri sebentar di lorong. Pandangannya berputar di ruang bawah, kemudian masuk ke kamar tanpa berkomentar.

Sementara waktu suasana menyepi, namun sejujurnya aku tidak tahan mengingat-ingat tanda tanya semalam. Maka kunekatkan diri bertanya pada si indigo kurang nyali.

"Sis, memang betul jin bisa suka sama manusia?"

Ia langsung bersemangat ditanya begitu, seolah-olah baru menyadari hidupnya ternyata bermanfaat juga buat orang lain.

"Bisa aja lah, bahkan suka dalam arti lebih jauh."

"Cinta, maksudnya?"

Siska mengangguk cepat, "Kenapa enggak? Dalam banyak hal mereka sama saja dengan manusia."

"Lo pernah disukai jin?"

"Ih amit-amit naudzubillah!" sergahnya sambil mengelus dada. "Temen gue ada tuh, susah lepasnya."

Aku masih memikirkan pertanyaan tersirat selanjutnya, tetapi dia memotong.

"Pertanyaan lo aneh deh."

"Aneh gimana?"

Tampak dia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu sambil menutuk-nutuk ujung hidung dengan telunjuk beberapa kali.

"Semalam itu, antara sadar dan mimpi..." ia masih berusaha mengingat.

"Kayanya bukan mimpi sih, gue baru tidur ayam, tiba-tiba ada yang menarik gue sampai badan gue terduduk paksa. Gue mau teriak tapi takut membangunkan kalian. Tahu-tahu ada yang berbisik," isyarat tangan Siska menerangkan suara itu berasal dari arah lemari, "Jangan sekali-kali ganggu Alvin, dia punyaku!"

"Setelah suara itu badan gue seketika ambruk lagi ke kasur."

"Maksud lo apa Sis?"

"Justru gue mau tanya, pertanyaan yang tadi apa maksudnya?"

Kenapa masih pagi harus begini keadaannya, aku menceracau dalam hati.

"Bisa jadi ada penghuni rumah ini yang naksir lo, bang."

Terus terang aku bisa pingsan mendengar yang barusan, untungnya kalimat itu sudah kuduga.

"Kalau benar gitu, gue harus gimana?"

"Pindah lah, jangan lama-lama di sini!"

"Memang bakal sebahaya apa kalau kami masih terus di sini?"

"Bakal susah hidup lo!" kalimat Siska yang terakhir ini tandas tanpa sela.

Sebenarnya aku percaya, mungkin tadi aku hanya butuh semacam kepastian.

"Pindah," bibirku menggumam ketika aku berjalan ke jendela.

Wina datang membawa tiga bungkus sarapan. Kami makan bersama mengiringi bergosip tentang rumah kos Wina. Ya, ini lebih tepat disebut bercerita sambil makan daripada sebaliknya.

"Eh lo tau nggak, Sis, kamar yang di sebelah kamar mandi itu kayanya minus juga," kata Wina.

"Yang mana, yang digembok itu?"

"Iya itu, setiap pagi nih, jendelanya pasti terbuka, giliran maghrib pasti tutup!"

"Ah, yang benar aja!" aku ikut-ikut menimpali. Sebab sungguh di luar dugaan, Wina juga mengamati jendela itu, bahkan lebih jauh.

"Tapi kamar selalu digembok?" tanya Siska yang langsung diiyakan temannya.

"Lo mending buru-buru pindah deh, Na," Siska memberi saran dengan nada serius, tetapi pandangannya mengilas padaku.

"Iya nih, mau mulai cari-cari lagi, cukup sebulan aja di sini."

Agaknya cuma aku seorang diri yang punya nafsu makan. Mereka sejak tadi lebih sering membauri nasi sambil terus mengobrol.

"Lagian kenapa sih pindah ke sini!?"

"Kan gue sudah cerita kemarin, gimana sih?"

Siska terkikik menyadari ingatannya yang luput. "Susah banget ya cari kos di sini?"

"Yang dekat kampus gini susah, kalau jauh-jauh kan repot."

Terdengar derap kaki meniti tangga. Langkah itu kemudian berhenti di depan kamar. Dari siluet yang terlihat di balik gordyn putih, itu Pak Wi yang sedang mengantar laundry.

Tanpa membuang waktu aku menghambur ke luar. Pak Wi menyambut dengan senyuman khasnya, memberitahu kiriman baju bersih sudah siap.

"Pak Wi!" aku mencegah langkahnya turun.

"Masih ada kamar kosong di rumah ini, Pak?" segera kudapatkan alasannya, "Teman saya ada yang cari-cari tempat kos."

"Oalah, penuh, Mas. Yang di luar itu katanya mau pindah tapi ndak jadi."

"Kalau kamar yang itu bukannya kosong?" ucapanku menjurus ke arah sebenarnya.

"Lho itu ada yang isi."

"Bukannya kosong, Pak? Itu digembok terus."

"Ada."

"Oh, lagi ke luar kota mungkin ya, Pak? Soalnya saya sudah kenalan sama yang lain, kecuali penghuni kamar itu."

"Ndak kok, ndak ke mana-mana. Sampeyan aja yang belum kenal."

Aku membatu mengamati Pak Wi menuruni anak tangga. Langkahnya seperti air, sama dengan bicaranya.

Kembali ke kamar sambil membawa setumpuk baju bersih membuat Wina sumringah.

"Kamu ngobrol sama Pak Wi?"

"Iya, sebentar aja, tanya kamar kosong."

"Apa katanya?" Wina sebenarnya sudah tahu maksudku.

Kuulangi ucapan Pak Wi dan kamar ini mendadak ramai obrolan. Diam-diam aku mengakui kehebatan makhluk halus. Di mata manusia, hidup mereka bagai dua sisi koin. Satu sisi tidak pernah diharapkan kehadirannya, di sisi yang terbalik cerita-cerita tentang mereka banyak digandrungi. Dan obrolan soal gaib selalu hidup kapan dan di manapun, menyaingi gosip di lapak sayur atau obrolan politik di warung kopi.

Lewat siang Siska baru pamit pulang. Ia tak lupa mengingatkanku agar segera pindah. Sarannya yang ini tidak akan kuanggap sebagai angin semata.

Selagi Wina mengantar Siska sampai pagar, kumanfaatkan waktu untuk membaca buku. Baru sebentar, ada seseorang menapaki tangga. Sempat kuintip, tak lain Pak Wi. Ia membawa cawan sesaji, berhenti di depan lukisan. Cepat-cepat kumatikan lampu agar tidak tembus pandang.

Gerakannya begitu cepat, diikuti bibir yang tak henti-henti merapal, layaknya orang yang sudah membiasakan diri memberi sesaji. Sebentar saja Pak Wi menyelesaikan pekerjaannya. Entah itu tugas dari pemilik atau swakarsa.

Aku membuka pintu, memberanikan diri mendekati sesaji di bawah lukisan ketika Pak Wi benar-benar hilang dari pandangan. Sekarang sepenuhnya aku menyaksikan apa yang Wina ceritakan sebelum ia pindah

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang