Sungguh, aku ragu pada apa yang kudengar. Tadi Mbak Fani mengatakan, “Pergi!” Dan anjing mini pom itu langsung diam tanpa melawan. Kepada siapa perintah itu ia katakan?
Kamar menjadi takdirku sekarang. Aku memikirkan potongan kejadian yang singkat itu. Mbak Fani tahu ada kekuatan astral yang membuat unyil resah. Tetapi dia tidak langsung mengusirnya. Ia menunggu dengan sabar, menunggu yang tidak terlihat itu insyaf sendirinya, hingga kesabarannya habis.
Sebaiknya kutanyakan perihal itu sekarang juga. Ya, sekarang, tak perlu nanti-nanti. Lantas aku bergegas keluar dari kamar untuk membuat semuanya jelas.
Akan tetapi tekadku dihentikan karena melihat sosok seorang pria. Ini pria yang sama sekali baru kulihat. Perawakannya tinggi proporsional, berwajah bersih, parlente, dan yaa...secara fisik ia lebih baik dariku.
Pria itu merangkul Mbak Fani, mengecupnya pada kening wanita itu dan berbalas kecupan yang sama hangat.
Kemudian dua orang itu masuk ke kamar Mbak Fani dengan tangan saling menuntun.
Sialan!
***
Sejak pemandangan yang aneh tadi waktu begitu pelit bergerak. Sekarang aku punya waktu begitu banyak. Sendiri lagi bercampur pikiran yang tidak jelas.
Beruntunglah aku punya Moris. Ia menghubungiku di saat yang tepat. Langsung kuangkat panggilannya.
“Bang, ayo kita main bola!”
Eeee, bisa-bisanya anak ini mengajak olahraga, bahkan main bola! Jujur saja, bagiku mustahil ia berkata begitu. Moris pemalas dalam banyak hal, kecuali melakukan kesenangan. Dan bermain sepakbola tidak pernah ada dalam daftar kesenangannya, kecuali berjudi bola.
“Bang, aku di depan kos ni, ayo main sekarang!”
“Kau bilang main bola?”
Ia tertawa panjang berkali-kali, mungkin sadar bahwa tak sepantasnya dirinya mengajak berolahraga.
“Sudahlah, bilang terus terang, kau mau apa?”
“Main bola, Bang,” katanya sambil masih tertawa.
“Kok bisa?”
“Aku ini dulu striker, Bang.”
“Ah, cakap kancil kaulah! Cepat bilang ada apa?”
“Aaah! Banyak cakap abang ini, cepat keluar, kita main bola.”
“Di mana?”
“Lapangan Palapa.”
“Serius?”
“Serius ini, sama anak-anak juga.”
Aku mulai sedikit percaya ketika ia membawa nama teman-teman kami. Namun tetap saja aneh mendengar Moris mengajak olahraga.
“Tapi aku enggak ada sepatu.”
“Macam Messi aja pakai alas kaki, ayo jalan sekarang. Yang lain sudah duluan.”
Diam-diam sebetulnya aku berterima kasih dengan ajakan Moris. Segera kuperiksa lemari Wina. Hasshh, untung masih ada satu celana pendek di sini. Baiklah, saatnya membuang keringat sore ini. Tak perlu memikirkan yang terjadi sebelumnya, juga tak penting membayangkan Mbak Fani dan kekasihnya. Masa bodoh, toh dia juga berminat padaku, cepat atau lambat pasti dapat.
Berjalan meninggalkan kamar, tapi baru beberapa hitung langkah aku mendengar bunyi gedebuk dari dalam. Itu binderku! Ia mengajakku berkomunikasi lagi sore ini.
Namun akhirnya kuhiraukan bunyi itu. Sepakbola lebih seksi kali ini.
***
Lapangan Palapa terletak di balik denyut kehidupan kawasan Pasar Minggu. Petang ini banyak orang yang ingin membugarkan badan. Tua, muda, sampai yang baru bisa berjalan bisa kutemukan. Sepeda motor kuparkir di sisi selatan, kemudian aku mengikuti Moris ke sebuah lapangan yang paling besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
TerrorCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...