Takdir Baik

11 2 0
                                    

“Vin, kamu masih lama nggak di kampus? Ada yang perlu aku tunjukin ke kamu, please, mendesak banget. Aku tunggu ya.”

SMS dari Mbak Fani 10 menit lalu. Jangan heran kalau kami sudah bertukar nomor telepon. Sayangnya teks barusan seperti menyiratkan panik. Hal burukkah telah terjadi padanya?

Buru-buru aku membayar kertas binder kemudian meninggalkan toko alat tulis di seberang gedung universitas. Waktuku habis lebih banyak untuk mengeluarkan motor dari area parkir di dalam kampus. Tiba di rumah Mbak Fani, aku menjumpai tak satu pun sepeda motor terparkir, kecuali sebuah motor kopling miliknya. Mungkin hanya dia seorang di rumah ini.

Sebelum masuk, kuketuk lebih dulu pintu kamar Pak Wi yang letaknya di muka. Andaikata terbuka sudah ada alasan khusus yang kubuat-buat. Tiada sahutan dari dalam. Maka aku bergegas masuk ke ruang utama.

Pintu terbuka setengah. Gonggongan unyil terdengar sejak aku masih di bawah. Dan hewan kecil itu langsung berlari padaku saat aku menapaki ruang utama. Ia menggonggong padaku. Ekornya berkibas menahan marah. Ia semata-mata menggonggong tanpa berusaha menyerang. Kemudian dua pasang kakinya yang gesit kembali berlari sampai ujung tangga kayu teratas.

Sontak aku menyusul anjing tersebut. Mendorong kayu pembatas tangga lalu mencari apa yang dimaksud unyil dengan firasat tak tentu.

Terlihat sebuah daun pintu terbuka sehingga memaksaku cepat-cepat ke situ. Kamar kosong yang selalu terkunci itu!

Pedalaman kamar rahasia terpampang seada-adanya. Masih tertata seperti sedianya dulu yang terlihat mataku, dan berwangi kayu-kayuan. Namun ada yang lebih penting untuk kuceritakan; Mbak Fani terbujur dengan mata terpejam di sudut dekat jendela.

Tanpa pandang tempat kuserbu sosok yang diam itu. Namanya kupanggil-panggil diselingi menepuk pipinya agar dia sadar. Namun keadaannya tak berubah. Unyil mengawasi dari muka sambil terus menggonggong. Jika saja suara hewan itu bisa dipahami pastinya aku telah mendapat petunjuk.

Akhirnya kubawa wanita itu menuju....kamar Wina?

Jangan, bahaya. Salah arti bisa kiamat! Lebih baik menguras tenaga lebih untuk memindahkannya ke kamarnya sendiri. Demikian aku menggotongnya cepat-cepat. Kira-kira bobotnya lebih lima kilo saja dari Wina. Terasa kencang lengannya berkat latihan yang teratur.

Namun dalam beberapa langkah kendala timbul. Sanggahan tangan pada tangga ini terlalu tinggi. Jika memaksakan diri tentu mudah bagi kayu itu mengantuk kepala Mbak Fani. Sepintas yang paling masuk akal ialah membawanya ke kamar Wina.

Sebelum pikiran ini terlaksana, berkelibat ide yang lain lagi. Dan aku betul-betul tak punya alasan untuk menolak gagasan yang ini.

Tubuh itu kuubah posisinya. Kepala naik sampai sejajar wajahku, lalu kuturunkan sedikit betisnya dengan ditekuk lebih tajam. Namun kukira tangan kirinya akan mengganggu jika terus menjuntai, sehingga kuputar dari bawah sekuat tenaga sampai seakan-akan sedang merangkulku.

Sekarang lebih aman meski anak tangga yang sudah menyehari itu tampak curam kali ini. Dengan amat teliti kujejaki satu demi satu anak tangga. Ungkapan zero mistake is not good enough berlaku untuk situasi macam ini. Sebab sekali tumit tergelincir, senyawa-nyawanya dapat menggelinding. Lebih-lebih keseimbangan dan tenagaku sejujurnya terbatas.

Namun aku tak pernah berfirasat bahwa pada sekarang pula perempuan ini kembali amat dekat denganku. Bukan lagi seperti aku sedang menatapi karya lukis termasyhur, melainkan perasaanku telah menjadi satu dengan tiap-tiap gurisan kanvas. Aku merasakan napasnya, dan aromanya, yang barangkali akan melekat dalam pikiranku seumur hidup. Dan akhirnya diam-diam aku berkeinginan kuat untuk memberi kecupan pada dahi yang tanpa noda itu. Suatu tindakan yang lahir dari dada yang meledak-ledak.

Sekecup dari dorongan hati yang amat dalam telah mendarat seraya kaki terus meniti dengan penuh pertimbangan. Sekian waktu aku bertahan dan tak mau lepas dari takdir cemerlang ini. Tetapi segalanya mesti berakhir. Karena aku mendengar suara yang sayup dari dekat.

“Alvin...”

Mati aku mati! Mbak Fani siuman! Tinggal lima lagi langkah sampai tetapi kakiku serasa dipantek.

“Turunkan aku. Aku bisa berdiri sendiri.”

“Ooo, ehhm, ehmmm. Iya, sebentar lagi...Uhm, masih jauh.”

Mulut terkunci, tangan gemetar. Perasaan malu tak kuat lagi aku tanggung. Namun keajaiban kemudian terjadi. Simsalabim! Mbak Fani mengangkat tubuhnya yang tetap dalam kuasaku dengan upayanya sendiri. Dan dengan kehendaknya sendiri pula dia melingkari batang leherku lebih erat. Terasa hangat jemari lentik itu membelai pipiku yang tengah mengeras.

Suaranya yang pelan bersemai dalam pendengaranku, “Kenapa kamu masih pemalu begini? Padahal aku mau berterima kasih karena kamu datang tepat waktu.”

Setelah itu kekuatanku kembali terkumpul untuk membawanya ke kamarnya. Betul katanya. Tak pantas aku bersikap kikuk. Aku pernah melewatkan sepenggal malam yang singkat bersamanya.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang