Tercium wangi-wangian lagi di kamar Wina. Setelah kuperiksa ternyata keperluan persembahan telah diganti yang baru. Macamnya lebih sedikit dan ada yang berlainan.
Sepertinya aku mengenali bau anyir dalam cawan yang ditaruh di atas lemari. Supaya lebih pasti aku menggapai wadah tersebut, mengendusinya dekat-dekat. Dan akhirnya aku menduga cairan ini persis sama dengan yang diceritakan Mbak Fani.
Pikiranku sedikit berkecamuk, menebar syak wasangka. Mustahil sesembahan yang sama ini berada di dua kamar berbeda jika tidak berhubungan. Aku bahkan telah menumbuhkan lagi kecurigaan terhadap Pak Wi. Sebab bagaimana masuk akal ia rela melukai tubuhnya sendiri untuk tujuan yang tidak menguntungkannya.
Terbersit niatku untuk meniru Mbak Fani, mencampakkan isi cawan itu lalu menunggu apa kejadian setelahnya. Tindakannya memang sungguh-sungguh berani, tetapi belum-belum nyaliku tersungkur lebih dulu mengingat ceritanya yang mengerikan.
Kenapa harus ikut-ikutan nekat!? Aku kan punya sesuatu yang bisa diandalkan. Walau belum kenal betul, tak ada ruginya mengakses informasi darinya.
Dengan gesit aku mengeluarkan kertas dari dalam tas. Mengganti isi binder yang lama dengan yang masih polos lalu menulis. Tujuan kepada penulis nirwujud.
“Aku percaya kamu ada di sekitarku. Bantu aku kali ini, apakah ada maksud jahat dari perbuatan Pak Wi yang tidak aku sadari? Adakah Pak Wi sebetulnya mencelakaiku dan Mbak Fani?”
Kuletakkan binder di atas meja rias. Belum satu menit sudah kuawasi lagi dalamannya. Kosong belaka. Dua menit. Tetap kosong. Lima menit...maka kutulis lagi,
“Cuma kamu andalanku sekarang. Beritahu apa yang harus kulakukan.”
Buku kupindahkan ke kolong lemari. Menunggu dengan kesabaran yang tipis. Jengkelnya, ia belum juga menanggapi. Bahkan sampai seperempat jam aku bolak-balik memeriksanya.
Brekk! Bunyi buku bergeser, perasaanku mengembang bagai mendapat hadiah!
“Singkirkan jauh-jauh pikiran burukmu. Perbuatan si tua keparat itu tidak ‘kan merugikan ataupun memberi manfaat buatmu. Tapi...”
“Tapi apa?” cepat balasanku.
“Agaknya kamu sudah mantap melupakan Wina. Sebetulnya kamu tidak terlalu buruk untuk Fani. Cuma berhati-hatilah dari awal, karena wanita itu mudah takluk hatinya sekaligus keras.”
Kurang ajar, kenapa malah menggosip!? Tapi di lain sisi aku suka isi gosipnya.
“Sepertinya kalimatmu belum selesai. Dalam kasusku, bukan bagusnya begitu?”
“Memang, sih. Sebelum kuberitahu, tahan kakimu supaya tidak melayang.”
Apa adanya saja, aku langsung menebak dalam hati dengan besar kepala.
“Apa boleh buat. Aku harus jujur mengabari, Fani sudah menaruh rasa sejak awal-awal kemunculanmu di rumah ini.”
Teriakanku menggema begitu saja, diikuti tertawa keras-keras. Tetapi lama kelamaan kesadaranku kembali juga.
“Apa alasannya?” aku bertanya.
“Sejak kapan cinta itu membutuhkan alasan?”
“Ayolah! Aku perlu tahu alasannya, supaya kupertahankan apa yang dia suka.”
“Apa lagi? Alasannya dia ingin punya anak darimu.”
“Hey!”
“Hahaha. Jangan pura-pura kesal. Hmm, sebetulnya kisah hubungan asmaranya sejak remaja penuh dengan kemarahan. Tapi Fani menilaimu berbeda. Dari pandangan pertama dia berpikir kamu adalah penyabar sejati. Ia terus memperhatikanmu. Puncaknya ketika Fani tidak sengaja menyimak pertengkaranmu. Kamu dianggap lebih banyak mengalah sedangkan Wina begitu mudah melempar handphone sampai akhirnya rusak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
HorrorCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...