Suatu kala, pendar kejora nampak di langit gelita, bukan di waktu malam, melainkan di siang hari; dalam mimpi. Seorang Troubadour (pujangga puisi) tak sempat menuliskan puisi untuk menyanjung pemandangan yang dialaminya itu, tak ada secarik kertas pun ia temukan di alam tidur. Membawa sang Troubadour itu terbangun saking kesal. Saat terjaga di siang hari, ia lantas mendatangi pawai Ksatria di alun-alun kota yang baru pulang dari perang Salib, ia kesana adalah untuk mendengar cerita-cerita yang dibawa para Ksatria di medan perang, karena kerap merasa inspirasinya buntu dalam menulis puisi setelah berhari-hari hanya diam di kastilnya. Dia adalah Pangeran Jaufre Rudel dari Blaye, Perancis. Seorang penganut agama romantisisme yang menjunjung keindahan perasaan sebagai wahyu paling agung semenjak penciptaan manusia -bayangkan saja ketika manusia dewasa mengajak bicara kepada bayi, seperti itulah romantisisme-. Walau harus bertentangan dengan pemikiran rasional, seperti misal pengorbanan para Ksatria di alun-alun itu, yang siap merelakan jiwa raganya untuk suatu keindahan perasaan berupa kesucian kerajaan Bapak di Surga, yang mengurapi hati mereka. Romantisisme adalah binari di halaman akhir sebuah buku yang menjelaskan secara harfiah maupun istilah, kata-kata yang tidak terbahasakan oleh jiwa yang buta.
Di alun-alun Itu sang Troubadour menanyakan para Ksatria, hal menarik apa yang bisa diberitahukan kepadanya. Sebagian besar menceritakan tentang mukjizat berupa diturunkannya bala bantuan dari langit para Malaikat, sehingga mereka dapat memenangkan pertempuran melawan pasukan Muslim di Damaskus. Namun ada suatu cerita yang dipaparkan oleh beberapa Ksatria, tentang seorang putri nun jauh di Lebanon yang mempersilakan satu kastilnya dijadikan barak Ksatria. Putri itu bernama Hodierna; yang sayang tidak turut dijelaskan oleh para Ksatria bahwa dia sudah bersuamikan Raja. Dalam kisah para Ksatria, paras sang Putri sangat cantik nan menawan, mereka berikrar tak pernah melihat kecantikan seorang wanita melebihi kecantikan sang Putri itu. Lantas sang Troubadour menanyakan kepada para Ksatria, bila dapat diandaikan, seperti apakah kecantikannya? Ksatria-Ksatria pun menjawab serentak " Dia bak Bintang Timur. " Sang Troubadour terperangah beberapa saat, bagaimana para Ksatria bisa begitu kompak, padahal setiap orang pasti punya perspektif berdeda, dan mengapa Bintang Timur menjadi pengandaiannya, bukankah Bintang Timur maksudnya adalah sama dengan bintang Kejora/Venus, seperti pemandangan yang ia saksikan dalam mimpinya. Mengapa para Ksatria bisa mengutarakan hal yang serupa.
Setelah itu, sang Troubadour menjadi selalu memimpikan bintang Kejora, ia pula kadang menulis berlarik-larik puisi sambil menikmati cahaya bintang itu di balkon kastilnya, di malam-malam yang cerah cemerlang. Apakah ada sebuah pertanda dari semua ini? hatinya belum pernah seelok sekarang, sungguh bila masih waras, berarti yang dialaminya adalah perasaan jatuh cinta. Padahal dia bahkan belum pernah melihat wajah sang putri sekali saja. Inilah romantiame, keindahan perasaan dalam hati yang mampu mengantar seseorang ke altar surga tanpa menapakinya.Sang Troubadour pun kemudian memutuskan ikut serta berperang ke Yerusalem sebagai Ksatria, hanya saja bukan dengan niat menunaikan tugas suci dari sang Paus di Vatikan untuk membela agama Nasrani, melainkan ia rela mengorbankan apa pun demi dapat bertemu dengan sang Putri Hodierna, termasuk kehidupan nyamannya sebagai seorang Pangeran.
Namun dalam perjalanan laut yang panjang, sang Troubadour menjadi sakit-sakitan karena tubuhnya tidak terbiasa diombang-ambing lautan yang membuatnya sering muntah-muntah di kapal. Di tengah derita tersebut, ia banyak menggubah puisi ciptaannya menjadi rima syair yang kerap ia dendangkan ketika sekarat di atas pembaringannya. " Oh Putri, taman gantung Babilonia itu tiada, bagi seorang yang ragu, namun seorang yang percaya, akan ke sana meski dengan tandu. "
Setiba di daratan Palestina, kapal rombongan Ksatria yang membawa sang Troubadour disambut dengan karang-karangan bunga dan bunyi keloneng yang khidmat oleh orang-orang Nasrani di tepi dermaga, salah satunya adalah sang Putri Hodierna yang mendengar berita kehadiran kapal tersebut. Di sana, saat para Ksatria turun dari kapal, beberapa mereka menghampiri sang Putri untuk menyampaikan ucapan terimakasih dari seorang Pastor di kapal itu atas jasa sang Putri yang mengikhlaskan kastilnya untuk para martir, yang sayangnya sang Pastor keburu meninggal karena disentri dalam pelayaran, sehingga mayatnya terpaksa di buang ke laut agar tidak menular. Karena itu tentu saja dia tidak dapat mengatakannya sendiri.
Kemudian oleh beberapa Ksatria lain, sebuah tandu yang di atasnya terbaring jenazah sang Troubadour dibawa kehadapan sang Putri, lalu mereka bercerita sepenggal riwayat hidupnya sebagai seorang Pangeran dari Blaye, Perancis, termasuk wasiatnya yang menginginkan agar jenazahnya dikuburkan di kota Amnan, Yordania, apabila pasukan Ksatria Salib mampu menguasai daerah itu, sebab sang Troubadour pernah membaca sabda seorang Nabi yang menyebutkan bahwa kota Amman adalah yang paling mencerminkan keindahan kota di surga. Barangkali sang Troubadour tidak akan terlalu merana apabila jadi hantu gentayangan.
Dan tentu saja tentang rasa cintanya yang mendalam kepada sang Putri, hingga diserahkannya beberapa lembar puisi ciptaan sang Troubadour semasa di atas kapal oleh seorang Ksatria. Dari salah satu lembaran puisi yang sang Putri baca, ia langsung dapat merasakan cinta menujam hatinya. Sebuah ungkapkan tulus yang tidak pernah ia terima dari suaminya sekalipun, yang menikahinya hanya karena dasar politik.
Kemudian dia mengangkat setengah badan jenazah sang Troubadour ke atas pangkuan tangannya, dan membisikkan bahwasanya pernah ada perawi yang menyampaikan perkataan seorang Nabi. yaitu, " setiap orang niscaya akan bersama dengan orang yang dicintainya. " Lantas sang Putri pun mencium pipi sang Troubadour, berharap kelak sang Troubadour mampu menemukan dia di alam selanjutnya.