14. If Only

1.3K 200 21
                                    

Taehyung benar-benar bingung. Siang ini ia duduk di samping Jimin, di depan sebuah gedung yang baru saja ditinggalkan oleh para pengunjung. Jimin baru saja mengikuti sebuah kompetisi tari yang diadakan oleh sebuah agensi dari Seoul di gedung tersebut. Dan seperti biasa, Taehyung selalu datang untuk menyemangati Jimin. Sayangnya Jimin gagal maju ke babak berikutnya, dan pemuda itu benar-benar kecewa.

"Ayolah, Chim... Ini bukan satu-satunya kompetisi. Kau bisa mengikuti lomba lain," hibur Taehyung sembari mengusap lembut punggung sahabatnya yang tengah menopang dagu dengan kepalan tangan. Yang dihibur tetap merengut.

"Hey... Kenapa Peri Jimin jadi tidak bersemangat begini? Bukankah kau mendapat tepuk tangan paling meriah tadi? Agensi itu pasti akan menyesal karena tidak memilihmu."

Jimin berdecak kesal. "Diamlah, Taehyung. Kau membuatku pusing," desisnya.

Taehyungpun hanya dapat menghela nafas lelah, lalu diam seribu bahasa. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Walau sedikit pemalu, Jimin yang ia kenal selama ini begitu optimis jika menyangkut tarian. Dia tidak akan menyerah hanya karena sekali kalah. Dia selalu bilang, 'Aku akan mencoba lagi besok'. Tapi hari ini entah apa yang terjadi pada pemuda dari Busan itu.

"Mungkin ini lomba terakhirku."

Ucapan datar itu sukses membuat alis Taehyung menukik tajam. Namun ia memilih diam, menunggu apa yang diucapkan Jimin selanjutnya.

"Nilai mid test-ku buruk, dan aku gagal dalam kompetisi ini. Aku tidak mendapat kebaikan apapun dengan menjalani hidup seperti ini." Jimin menarik dan menghembuskan nafas berat.

"Aku harus memilih salah satu. Dan sepertinya kuliahku lebih menjanjikan daripada menari. Mungkin aku bisa membahagiakan Ayah kalau aku belajar dengan benar," ucapnya putus asa. Tatapannya kosong, sama sekali tidak bersemangat. Dan itu benar-benar menghancurkan hati Taehyung.

"Jim... Kau sudah berjalan sejauh ini. Orang-orang bahkan sudah banyak yang mengenalmu. Kalau kau berhenti begitu saja itu akan..."

"Aku bukan kau, Taehyung!" Sahut Jimin yang tanpa sadar telah drastis menaikkan nada bicaranya hingga bukan hanya Taehyung, bahkan beberapa orang yang berjalan melintasi trotoarpun kaget dan sempat menoleh sebentar ke arah dua pemuda itu.

"Aku bukan kau yang tinggal sendirian dan bebas melakukan apapun yang kau suka. Aku punya orang tua dan mereka tidak mendukung impianku. Sekalipun mereka bilang tidak apa-apa menari asalkan aku tetap kuliah, nyatanya setiap hari ayah menekanku." Jimin seolah tak peduli lagi dirinya yang menjadi pusat perhatian. Bahkan urat-urat rahangnyapun tercetak jelas, menunjukkan bahwa ia benar-benar marah saat ini.

Taehyung tercekat mendengar ucapan Jimin. Entah mengapa seolah ada sesuatu yang menusuk tepat di dasar hatinya. Bebas melakukan sesuatu yang dia suka? Itukah yang dipikirkan Jimin selama ini? Rasanya Taehyung ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu menyedihkan sekarang.

Jika bisa, Taehyung lebih memilih bertengkar setiap hari dengan ibunya karena berbeda pendapat. Dimarahi atau dipukul oleh kakek dan neneknyapun tidak masalah selama mereka masih di sini dan menyambutnya ketika ia lelah belajar dan bekerja seharian. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Tidak peduli seberapa pintar dirinya di sekolah, serajin apapun ia membersihkan rumah, atau betapa baik dirinya dalam bermain piano, bunda, kakek, dan nenek tidak akan datang untuk memeluknya dan mengucapkan selamat dengan senyum bangga. Terlepas dari canda tawa yang ia tunjukkan pada dunia, pada akhirnya Taehyung tetap sendiri saat pulang, dan hanya dapat menikmati senyum orang-orang berharga itu lewat foto-foto yang mulai memburam.

Kini yang Taehyung miliki hanya ayah dan Namjoon Hyung yang sangat jauh darinya, secara fisik maupun mental. Taehyung bahkan ragu jika ia masih berhak untuk menyebut mereka sebagai miliknya.

Hello My Summer Rain! (Kim Taehyung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang