"Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka akan diperbanyak kesedihannya. Jika Allah membenci seorang hamba, maka dilapangkan dunia baginya."
[Fudhail bin Iyadh]***
"Gimana keadaan Nafisa sekarang?" tanya Alvaro panik. Dirinya mendapat telpon dari calon adik iparnya saat ia sedang mengadakan rapat pertemuan. Untung saja kolega bisnisnya mau memaklumi, dan menjadwal ulang rapat.
Seketika Alger berdiri dari duduknya. "Masih di dalam, Mas. Dokter belum keluar dari tiga puluh menit yang lalu," jawab Alger, kepalanya sedari tadi tertunduk.
"Maaf, Mas."
Alvaro mengernyit bingung. "Buat? Oh— nggak papa kok. Ini bukan salah kamu. Sekarang kita berdoa, semoga Nafisa baik-baik aja," ucapnya sambil menepuk pundak Alger pelan.
"Tapi, Mas. Tadi—"
"Saya sudah tahu semuanya, termasuk tentang orang yang kamu cinta. Ya, semua nggak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa, hanya Allah azza wajalla yang tahu karena Ialah pemilik skenario. Dan, ya, percaya saja, skenario-Nya pasti yang terbaik," jelas Alvaro tersenyum tipis.
Alger mengangkat kepalanya, menatap laki-laki di depannya. "Mas tahu?" tanyanya pelan.
Alvaro terkekeh kecil, menatap layar ponsel yang berada di genggamannya sekilas. Kemudian mengangguk. "Tahu. Kamu pikir, saya akan membiarkan adik saya begitu saja? Kamu salah. Gelang emas yang ada di tangan kirinya, kamu pernah lihat itu bukan?"
"Itu dari saya, dan saya pasang GPS juga alat penyadap. Tentunya tanpa sepengetahuan dia. Jadi, saya bisa tahu apapun yang dia lakukan dan di manapun ia jelajahi. Nafisa cuma tahu, kalau kunci gelangnya ada di saya, hanya itu," lanjut Alvaro, menempatkan dirinya di bangku yang telah disediakan.
Alger masih tidak percaya. Banyak hal yang belum bisa ia duga. Baik calon kakak iparnya, dan bahkan calon istrinya sendiri yang dengan mudahnya menerima perjanjian pernikahan. Apa maksudnya?
"Nafisa tadi berkata sesuatu 'kan? Terkait dirinya yang bersedia untuk menikah bersamamu selama satu tahun, dan ia juga tidak mempermasalahkan jikalau kamu tidak mencintainya?" tanya Alvaro setelah memerintahkan Alger untuk duduk di sampingnya.
Alger menoleh dan berujar, "iya, Mas. Kenapa seperti itu— maksud saya, kenapa Nafisa tidak menuntut saya untuk mencintainya? Kenapa semuanya—" Alger tak dapat meneruskan kalimatnya, seakan tercekat begitu saja di tenggorokannya.
"Tenang, suatu saat nanti kamu akan tahu. Saya hanya bisa berpesan, jaga dia semampu kamu. Kalau kamu sudah tidak bisa lagi menjadikannya istrimu, kembalikan Nafisa ke kami. Bukan malah menelantarkannya," jawab Alvaro tenang. Meskipun raganya terlihat damai, namun tidak dengan hatinya. Seperti terdapat ribuan anak panah yang menusuk hatinya. Ia tak tahu jika kisah asmara adiknya akan seperti ini. Meskipun dia tidak tahu kedepannya akan seperti apa nanti. Alvaro hanya bisa berharap, semoga adiknya merasakan keadilan yang sesungguhnya. Juga kebahagiaan di saat ia mempunyai seorang suami.
"Dan satu lagi, kalau dia pingsan seperti ini, tolong cepat panggil saya, tidak perlu beritahu ayah saya dan Nafisa. Dan ya, tidak usah mencari tahu kebenarannya."
"Tapi, Mas—"
Belum sempat Alger mengungkapkan kegundahan hatinya, dokter lebih dulu keluar dari ruangan. Alvaro yang melihat kedatangan dokter pun segera berdiri, dan bertanya perihal adiknya. "Bagaimana keadaan adik saya, dokter Shella?" tanyanya.
Seseorang yang dipanggil 'Shella' itu menampilkan wajah terkejutnya. Namun, tetap menampilkan ekspresi seperti biasanya. Seakan tidak ada apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...