Akaashi meregangkan tubuhnya, sekujur badan terasa nyeri karena semalaman ia tidur di lantai tanpa alas apapun. Lelaki itu berjalan keluar bangunan gudang tua yang sudah lebih dari satu tahun ia huni. Pria dengan rambut hitam legam itu menarik nafasnya dalam-dalam. Udara di sekitarnya begitu lembab serta kabut tebal dengan jarak pandang tak lebih dari dua meter membuat suasana pagi itu terasa suram. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi tapi yang ada hanyalah kegelapan, tidak ada cahaya maupun hangat sinar matahari. Akashi bahkan sudah tidak bisa mengingat bagaimana sensasi hangat sinar matahari pagi yang menyentuh kulitnya.
"Kau sudah Bangun?"
Akaashi menoleh ke belakang mendapati sosok laki-laki tinggi dengan otot maskulin menghampirinya. Laki-laki itu membawa dua buah mug berisi kopi panas yang kemudian salah satunya diberikan untuknya.
"Baru saja" ucap Akaashi sambil menerima kopi pemberian teman satu groupnya. "Thanks."
Laki-laki yang lebih tinggi hanya mengangguk dan tersenyum kecil ketika Akaashi mengucapkan terima kasih.
Keheningan menyelimuti kedua laki-laki itu cukup lama, sampai pada akhirnya Bokuto –sebutan untuk laki-laki yang lebih tinggi berbicara.
"Seharusnya hari ini kita sedang merayakan libur musim panas" ucapnya dengan tatapan menerawang jauh ke depan.
"Ya."
Akaashi hanya memandangi gelas kopinya yang setengah habis dan hampir dingin. Ujung bibir kirinya sedikit terangkat dan ia hanya bisa tersenyum kecut.
Ia tidak tahu bagaimana semua bisa berakhir seperti saat ini. Seingatnya semesta memiliki banyak warna, bukan hanya abu-abu. Seingatnya, dulu hidup yang ia miliki tidak seperti ini.
Semua berawal dari bencana yang terjadi satu setengah tahun yang lalu ketika Akaashi berumur 16 tahun. Bencana yang membuat 90% populasi dunia menghilang. Tak ada gempa, banjir, tsunami, atau gunung meletus sebagai pemicunya. Mereka hanya menghilang begitu saja.
Akaashi yang berumur enam belas tahun saat itu bangun seperti biasa, pukul enam pagi dan bersiap-siap untuk sekolah. Sampai suatu ketika ia menyadari bahwa hari itu ia sendirian di rumah. Kedua orang tua Akaashi dan kakak perempuannya menghilang. Tidak ada pesan singkat yang ditinggalkan di pintu kulkas maupun di meja makan. Tak ada baju yang hilang, sepatu, maupun alat komunikasi mereka masih ada di rumah.
Akaashi yang saat itu masih remaja berlari menyusuri jalan kebingungan. Ia berteriak mencari pertolongan tapi tak ada yang mendengarnya. Tak ada satu orang pun di sana. Semuanya menghilang.
Tiga bulan Akaashi mengahabiskan waktunya sebatang kara. Ia pergi membobol rumah-rumah tetangga untuk mencari makan. Mengambil semua uang dan benda berharga yang mereka miliki untuk bertahan hidup.
Listrik sudah mulai padam, tidak ada jaringan telfon maupun internet, hanya ada saluran radio amatir yang tiap hari memberitakan kerusuhan yang mulai terjadi di mana-mana. Akaashi sebisa mungkin menimbun persediaan makanan di rumahnya. Sangat beresiko bagi bocah 16 tahun sepertinya untuk berkeliaran di luar rumah saat terjadi krisis seperti ini. Orang-orang yang lebih tua bisa jadi akan langsung menculiknya, membawanya pergi entah kemana, menjualnya atau yang lebih parah membunuhnya.
Orang-orang dengan kekuatan dan kekuasaan dengan cepat membentuk sebuah kelompok yang mereka sebut Tribe. Mereka mulai melakukan tindak kriminal; mencuri, memperkosa, dan membunuh. Tiap kelompok akan bertempur satu sama lain demi memperebutkan wilayah. Wilayah yang sudah dikuasi oleh suatu kelompok tidak boleh dimasuki oleh kelompok lain atau mereka akan terbunuh.
Selama tiga bulan Akaashi bertahan di rumahnya. Ia tahu bahwa lingkungan tempat ia tinggl sudah dikuasai oleh suatu Tribe tapi Akaashi tidak mempedulikannya sama sekali. Ia tidak keluar dan hanya bersembunyi di ruang bawah tanah yang kotor. Lagi pula ia tidak tahu harus pergi ke mana, dan bergabung dengan kelompok liar itu juga bukan pilihan yang bijak. Akaashi tidak mau menghabiskan sisa hidupnya membunuh orang bagai serangga. Sampai pada suatu hari ia mendengar suara kaca jendela rumahnya yang pecah, seseorang telah menerobos masuk ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Spend The Next Summer Together (Haikyuu!! BokuAka Post Apocalypse AU)
FanfictionAkaashi tidak ingat kapan terakhir ia merasakan hangatnya musimpanas. Yang ia tahu saat ini, di musim panas yang akan datang, ia ingin menghabiskan waktunya bersama Bokuto. a post apocalypse AU