BAB 1: RUMAH BARU

27 9 64
                                    


"Apa? ...." Putri menatap lelaki di depannya tak percaya.

Lelaki itu membuang muka sejenak, lalu berujar, "namaku Dika. Ikutlah aku. Aku akan menjelaskannya."

Putri yang pikirannya kosong manut saja ketika Dika membawa dirinya ke mobil hitam. Saat pintu belakang di buka, ada perempuan berkuncir dua, seumuran Putri-12 tahun. Perempuan itu membantu Putri duduk di jok.

Setelah Dika duduk di jok pengemudi, ia mulai menjelaskan, "ini ... pernah terjadi sebelumnya-"

"Bagaimana kau percaya Indonesia benar-benar hilang?" potong Putri.

Wanita di sebelah Dika menyodorkan handphone. Di sana tertera google dengan kata 'Indonesia' di kolom pencarian. Namun, google tidak memiliki apa pun yang mengandung kata 'Indonesia'.

Putri tertegun, hatinya bagai di hantam ombak. Hancur berpecah-pecah. Senyum keluarganya tiba-tiba terngiang dalam pikirannya. Momen yang berbahagia, tempat yang membuat hati nyaman. Ulu hatinya terasa sakit, ada yang hilang. Sesuatu yang seperti setengah hidup Putri hilang tak berbekas. Di lupakan tanpa kenangan. Jejak tertimbun yang bahkan tidak pernah ada bagi orang-orang.

Dika dan dua orang lainnya yang menatap keheningan Putri ikut tertegun. Lalu Dika memberi kode pada keduanya untuk mengajak mengobrol Putri, untuk sekedar menenangkan.

"Halo, aku Anna," sapa perempuan berkucir dua dengan ceria. Tangannya mengambang untuk di jabat.

Putri menatap hampa Anna. "Aku Putri ...." Ia tak kuat untuk membalas jabatan Anna.

Setelah keheningan yang canggung, perempuan di sebelah Dika menyela, "Hai, aku Alin, ibu Anna dan suami Dika." Alin tersenyum manis mendongak ke arah Putri.

Lagi-lagi Putri menatap Alin hampa. "Halo ...," balasnya lemah.

Alin dan Dika dengan pelan kembali ke jok. Keempat orang di dalam mobil itu menatap lurus. Pasir berterbangan di ajak angin. Terik matahari menyilaukan, bagai berlian dalam sinar.

"Ini ... pernah terjadi sebelumnya," papar Dika, "dua tahun yang lalu."

"Maksudmu?" tanya Putri. Ia memajukan dirinya ke celah antara jok kanan dan kiri di depan.

Dika dan Alin saling bersitatap. Kedua mata biru mereka seperti memberi pesan ke sesama. "Xivia, nama negaranya. Hilang sekitar lima belas tahun yang lalu. Kami bertanya pada banyak orang, tetapi malah kami yang di anggap gila."

"Padahal kami memiliki bukti berfoto di negara Xivia," imbuh Alin.

"Tapi tetap saja ... Xivia ... tidak pernah kembali ...." Dika menatap langit-langit mobil menerawang.

Setelah kalimat terakhir Dika lontarkan, Putri terhempas ke jok dengan lemas. Mata coklatnya menatap angin dan pasir yang saling beradu. Pertahanannya setiap detik melemah, hingga akhirnya bulir bening menetes, membasahi tiap-tiap kulit pipi. Rasa sesaknya bertambah begitu ia menahan isak. Pikirannya hanya tertuju pada orang yang dia sayangi. Ibu, ayah, dan kakaknya.

"Tenanglah, kami akan merawatmu," kata Alin tersenyum manis pada Putri. Ia dan Dika saling menatap dan mengangguk bersamaan.

"Aku akan menjadi temanmu," tambah Anna dengan cengiran lebar khasnya.

"Terima kasih." Putri yang syok hanya bisa mengatakan itu.

"Baiklah! Mari kita berlayar!" kata Dika mencerahkan suasana.

Alin langsung memencet tombol lagu, dan lagu penuh semangat berputar mengelilingi. Dika menyalakan mesin, lalu mulai mengendarai. Anna mengambil snak dari kantong yang ada di belakang jok pengemudi, ia menawarkan snak berwarna-warni itu ke Putri. Namun di tolak. Ia langsung menyambar tangan Putri, dan memaksa agar mau menerima snak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHESS PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang