Akhirnya, di sinilah aku akan berakhir. Menutup semua episode hidupku, kalau masih bisa dikatakan hidup. Di sini, di lantai paling atas salah satu dari sekian ratus gedung pencakar langit di kota metropolitan, Jakarta. .Kuhirup udara malam sepuas-puasnya untuk yang terakhir kali, lalu aku pun menggigil kedinginan. Jika saja ini adalah sebuah pertunjukan teater maka inilah adegan terakhir yang paling dramatis, saat para penonton akan menahan nafasnya karena menyaksikan sang tokoh utama akan mengakhiri hidupnya.
“Ha..ha..ha..ha..!” tawaku keras membahana. Akulah tokoh utamanya, tapi di sini tidak ada seorang penonton pun. Paling tidak keluargaku harus mendukung dan menyorakiku. Paling tidak ayahku. Bukankah dia yang mempunyai andil besar dalam hal ini?
Aku terus saja tertawa, menertawakan takdir yang telah digariskan kepadaku. Aku adalah anak yang tidak diinginkan. Sudah terlalu sering Papa meneriakkan kata-kata “bodoh” atau “anak tak tahu diuntung” atau “lihat saja abangmu yang lebih pintar” sampai-sampai kata-kata itu mengendap di dalam hatiku. Endapan itu semakin lama semakin banyak dan mengeruh sehingga membuatku perih.
Entah karena aku yang terlalu bloon atau kakak semata wayang yang hanya terpaut tiga tahun di atasku, Mas Seno yang terlalu pintar sehingga aku selalu menjadi yang nomor dua dalam segala hal. Mas Seno yang selalu juara kelas, Mas Seno yang penurut, Mas Seno yang bisa merebut perhatian semua orang termasuk Papa dan Mama dan aku yang selalu hidup dibalik bayang-bayang Mas Seno.
Mas Seno… Mas Seno… Aku tahu selama ini kau diam-diam mengkhawatirkan keadaanku. Selalu pulang malam, mabuk-mabukan, dan yang membuatkmu shock adalah apa yang kau temukan di kamarku kemarin. Ya! Aku terjerumus narkoba.
Dan itu bukannya membuat Papa sadar telah menelantarkan aku, tapi malah cacian dan makian yang kudapat. Aku memang sampah dan Mas Seno adalah berlian. Sebuah berlian harus selalu diasah dan dijaga sedangkan sampah harus dibuang dan dilupakan.
Bah!! Kukira cerita melodramatis seperti ini hanya ada di sinetron atau novel-novel picisan. Sulit dipercaya hal ini bisa terjadi padaku. Benar-benar nyata. Nyata benar ketidakadilan ini menari-nari di depan mataku, dan nyata benar rasa sakit yang kurasakan saat ini. Rasa sakit karena telah dilupakan.
Kadang-kadang aku berpikir mungkin orang tuaku menyesal pernah melahirkan aku ke dunia ini, karena sampai sekarang tidak ada yang bisa aku lakukan selain menjadi beban keluarga.
Sering aku juga berpikir mungkin aku bukan anak kandung mereka karena mereka sama sekali tidak memperhatikan pendidikan, pergaulan, dan apakah hari ini aku sudah makan atau belum. Mereka sama sekali tidak peduli! Yang peduli padaku hanyalah obat-obat laknat itu. Obat-obatan itu lumayan bisa menghilangkan stres. Tapi hanya untuk sementara waktu. Karena itulah aku bunuh diri, karena bunuh diri bisa menghilangkan stres untuk selama lamanya.
Perjalanan hidupku mengingatkanku pada The Dead Society. Aku seperti Todd Anderson dalam film tersebut yang dilupakan keluarganya. Namun, bagaimana hidupku akan berakhir lebih mirip dengan Neil Perry yang bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya sendiri. Ya! Carpe diem! Raihlah kebebasan! Dan kebebasan itu hanya bisa kuraih dengan melepaskan diri dari hidup yang tiada berharga ini. Dengan mengakhiri hidupku maka aku akan bebas dari rasa sakit.
Berbagai cara telah kupikirkan bagaimana aku mengakhiri hidupku dengan aman dan nyaman. Racun sianida akan bisa membunuhku dalam sekejap namun seluruh tubuhku akan berubah warna menjadi kebiru-biruan, dan itu sangat tidak enak untuk dilihat. Menenggak baygon, apalagi.
Itu adalah cara bunuh diri paling menyedihkan bagi orang menengah ke bawah karena selain rasanya pahit, sakitnya juga akan terasa lebih lama. Menabrakkan diri di tengah jalan? Ya kalau mati. Kalau akhirnya selamat maka seluruh tulangku hancur dan bisa jadi aku akan menghabiskan sisa hidupku dalam keadaan cacat atau lumpuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before I Die
Short Story14 Days writing challenge! With Assabila17!! Akhirnya, di sinilah aku akan berakhir. Menutup semua episode hidupku, kalau masih bisa dikatakan hidup...