1

6.5K 564 47
                                    

"Vely, bangun." Seorang wanita berusia 30 tahunan masuk ke dalam kamar adik bungsunya. Dia berjalan mendekati ranjang seraya memegangi perutnya yang besar.

"Vel, bangun. Udah pagi. Bukannya kamu ada janji dengan teman?" Verona, wanita hamil tersebut masih terus berusaha membangunkan sang adik yang asyik bergelung dengan selimut.

"Jam berapa ini, Kak?" tanya Vely bergumam.

"Jam 8."

"Apa?!" Vely berteriak kaget mendengarnya. Melirik ke arah jam dinding dengan mata melotot. Kemudian melirik sebal pada Verona yang tertawa. Dia dibohongi lagi.

"Cepat mandi. Sarapan sudah siap. Jangan sampai mama ngomel lagi karena sudah beberapa hari ini kamu gak ikut sarapan bersama," ucap Verona. Vely mendengus kesal. Berjalan gontai memasuki kamar mandi.

Verona, wanita yang sedang hamil sembilan bulan tersebut tersenyum kecil. Dia adalah wanita baik yang selalu peduli pada keluarga. Menyayangi kedua adiknya sama rata.

Ini adalah kegiatan Verona setiap pagi. Membangunkan kedua adiknya yang sering malas bangun pagi. Dan Verona selalu membangunkan Vely pertama kali. Entah kenapa, nyaman saja rasanya. Walau Vely sedikit susah untuk dibangunkan, tak seperti Viana, adik pertamanya yang disebut nama saja sudah membuka mata.

Hubungan Verona baik dengan kedua adiknya. Namun, dia juga selalu sadar bahwa sikap salah satu adiknya berbeda. Yaitu, Viana. Entah kenapa Viana selalu sinis dan jutek padanya. Padahal, Verona menyayangi Viana dan Vely dengan sama, tak ada perbedaan.

Setelah Vely masuk ke dalam kamar mandi. Verona pun mulai membangunkan Viana yang kamarnya tepat di depan kamar Vely. Verona mengetuk pintu dan memanggil nama adiknya tersebut.

"Ya! Aku sudah bangun! Berisik!"

Begitulah, setiap hari. Respon Viana selalu kurang baik bagi Verona. Namun, Verona tak mempermasalahkan. Menghibur hatinya sendiri, berkata kalau mungkin itu memang sifat Viana.

Setelah membangunkan kedua adiknya, Verona kembali ke ruang makan membantu ibunya menyiapkan makanan.

"Verona, kamu duduk saja. Mama takut sendiri melihat kamu banyak gerak dengan perut sebesar itu," ucap Hesti khawatir. Verona hanya tersenyum menanggapi perkataan ibunya.

"Aku baik-baik saja kok, Ma. Jangan berlebihan seperti itu," balas Verona. Hesti menghela nafas pelan mendengarnya.

"Suamimu sudah kamu panggil?"

"Sudah, Ma. Sean sedang siap-siap."

"Adik-adikmu?"

"Sudah. Sebentar lagi mereka pasti turun," jawab Verona dengan senyuman lembut. Dia kemudian mengambil piring dan mengambil nasi. Verona juga mengambilkan untuk anggota keluarganya yang lain.

Setelah beberapa menit, Sean, suami Verona datang. Dia mengecup kening istrinya tersebut dengan lembut. Kemudian duduk di samping Verona. Piringnya sudah terisi nasi dan lauk pauknya.

Tak lama kemudian, Viana dan Vely turun bersamaan. Wajah jutek Viana selalu terpasang setiap hari. Ditegur berkali-kali oleh sang kepala keluarga pun tak menggubris.

"Vel, kamu pergi ke mana pagi ini?" Verona bertanya pada adik bungsunya.

"Bertemu teman, Kak. Memangnya ada apa?"

"Sekalian saja berangkatnya dengan Sean. Biar gak perlu naik taksi," ujar Verona. Vely terdiam mendengar itu. Selama ini, Vely tak terlalu akrab dengan kakak iparnya tersebut.

"Enggak perlu, Kak. Aku sudah meminta teman untuk menjemputku semalam. Jadi dia akan datang ke sini sebentar lagi," tolak Vely. Verona mengangguk pelan mendengar itu.

"Aku saja yang ikut Kak Sean. Studio untuk pemotretanku hari ini satu arah dengan kantor Kak Sean." Viana berbicara langsung. Sorot matanya memperlihatkan penuh harapan. Dan Verona sadar itu.

"Viana, kamu selalu banyak ini-itu. Naik taksi saja. Kasihan nanti kakak iparmu terlambat," tegur Hesti. Viana berdecak kesal mendengarnya. Membanting sendok dengan kuat hingga menimbulkan suara tak enak didengar. Viana langsung berdiri dan beranjak pergi dari sana. Suasana berubah menjadi tegang. Verona menunduk dalam, tak menyentuh makanannya.

"Vel, kamu kan sudah wisuda. Kapan kamu akan kerja?" Reza, suami Hesti berbicara pada anak bungsunya tersebut. Berusaha mencairkan suasana yang dingin dan canggung karena ulah Viana.

"Ehm, aku gak tahu, Pa. Masih bingung kerja dimana."

"Lah, kok bingung? Kamu bisa kerja di perusahaan papamu, Vely. Atau, kamu juga bisa kerja di perusahaan Sean. Iya kan, Sean?" tanya Hesti. Menantunya tersebut mengangguk.

"Iya. Kebetulan perusahaanku juga sedang mencari karyawan baru untuk ditempatkan di divisi keuangan."

"Nah, dengerin. Bilang aja kamu malas kerja," cibir Hesti. Vely berubah cemberut mendengarnya.

"Ma!" Vely merajuk, tak terima disebut malas. Hesti malah terkekeh mendengarnya.

"Gak masalah juga Vely gak kerja. Toh, dia tak kekurangan apapun. Kamu jadi asisten kakak saja, Vel," ujar Verona.

"Asisten apa?"

"Kan bentar lagi kakak lahiran. Nanti kamu bantuin kakak urus bayi. Tenang saja, nanti kakak beri kamu gaji," ujar Verona. Vely membelalak kaget mendengarnya.

"Nggak! Aku takut berurusan dengan bayi," balas Vely cepat. Verona terkikik geli melihat ekspresi Vely. Vely bukannya tak suka pada bayi, dia hanya geli saja. Takut yang dia maksud adalah karena dia tak terbiasa menggendong bayi. Makanya dia takut menyakiti bayi secara tak sengaja.

"Ya sudah. Nikmati saja kebebasanmu sekarang, Vel. Sebelum menikah nanti," lanjut Hesti. Vely melotot tak terima. Dia baru lulus kuliah dan nikah muda tak ada dalam rencana hidupnya.

Selesai sarapan, Sean pun pamit untuk segera pergi bekerja. Verona mengantarkannya sampai pintu depan.

"Mau apa untuk malam nanti? Biar aku belikan saat pulang." Sean menyentuh kepala istrinya dan mengelusnya dengan lembut.

"Ehm, pizza aja deh. Jangan lupa, pizza manis juga untuk Vely," peringat Verona. Sean mengangguk dan tersenyum. Mencium kening Verona kemudian pamit untuk segera pergi.

"Vely aja terus yang diingat. Ck." Sebuah suara sinis terdengar oleh Verona. Dia berbalik, lalu menatap Viana yang bersedekap dada.

"Vely kan jarang keluar rumah, Na. Makanya dibeliin sekalian. Kalau kamu kan bisa beli sendiri sepulang kerja," ujar Verona menjelaskan. Viana memutar bola mata bosan kemudian melenggang pergi dari sana. Verona menghembuskan nafas pelan melihat tingkah laku Viana. Bertanya-tanya, apakah ibunya salah mendidik? Hingga Viana tumbuh dengan penuh rasa iri?

_______________________________________

Hai hai...
Update pertama untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Btw, cerita Ayu-Deon-Della memang gak aku buat. Jadi, jangan berharap ada cerita tentang mereka bertiga ya😁

S & VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang