Chaeyoung menangkup air keran dengan kedua telapak tangan, lalu membasuh wajahnya, lagi, lagi, dan lagi hingga puas.
Kuku bercat biru tuanya terlihat kontras dengan wajah yang pucat. Kalau bukan karena lipstik merah yang ia kenakan hari ini, wajah Chaeyoung benar-benar tidak memiliki warna.
Pias.
"Kamu nggak apa-apa?" seseorang menepuk pundak Chaeyoung pelan. Saat menoleh, ternyata perempuan yang sempat ia lihat di ruang tunggu dokter kandungan. "Wajah kamu pucat banget"
Chaeyoung tersenyum lemah. "Saya sehat. Cuma lemas sedikit karena lagi mual-mual."
"Oh, trimester pertama, ya?" tebaknya.
Berbeda dengan wajah Chaeyoung yang pucat, wanita itu terlihat bersinar meski dengan kondisi perut buncit karena sedang mengandung lima bulan.
"Ya," jawab Chaeyoung sambil membereskan tas-nya yang ada di samping wastafel.
"Waktu kandunganku umur lima minggu, aku juga sering kaya kamu; pusing, mual, cepet capek. Tapi kalau sudah masuk trimester kedua biasanya gejala itu hilang semua. Kamu pasti hamil lagi anak pertama, ya. Jadi masih kaku. Kalau aku—"
"Maaf," potong Chaeyoung cepat. "Saya nggak punya banyak waktu. Permisi."
Tidak peduli dengan wajah kecewa yang terpampang di wajah perempuan itu, Chaeyoung melangkah ke luar toilet rumah sakit.
Pembicaraan mengenai kehamilan membuat Chaeyoung sakit kepala. Ia masih belum bisa meredakan keterkejutan setelah Dokter Mino mengkonfirmasi kehamilannya. Maka dari itu, ia tidak mau menambah beban pikiran dengan mendengar cerita kehamilan orang lain.
"Selamat, ya, Chaeyoung. Serangkaian tes yang kita lakukan tadi hasilnya positif. Kamu hamil dengan usia kandungan yang sudah menginjak enam minggu."
Ucapan Dokter Mino bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Tangan Chaeyoung gemetar, dan matanya menatap kosong ke arah pulpen yang terselip di kantong sneli Dokter Mino.
"Chaeyoung? Kamu baik-baik saja?" tanya Dokter Mino yang menyadari kurangnya respon dari pasien yang ada di hadapannya.
Chaeyoung ingin sekali berteriak kalau ia tidak baik-baik saja dan kehamilan ini diluar rencananya. Tapi, pada akhirnya, yang ia bisa lakukan hanya mengulas senyum palsu dan berucap.
"Ya, saya baik-baik saja, kok Dok."
Lift yang ditumpangi Chaeyoung berhenti di lantai dasar. Dengan langkah lebar-lebar, perempuan yang mengenakan kemeja berwarna peach itu melangkah keluar rumah sakit.
Chaeyoung menghentikan taksi, dan langsung menyebutkan alamat kantornya kepada sang supir. Siang ini ia ada meeting penting. Tidak peduli dengan perutnya yang mual dan keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya, ia tetap harus bekerja.
Sepanjang perjalanan, Chaeyoung memegangi perutnya yang masih rata.
***
" ... oke, dengan begitu rapat saya tutup. Terima kasih atas kerjasamanya dan selamat sore." Mr. Seunghoon, pimpinan di Event Organiser tempat Chaeyoung bekerja menutup rapat sebelum melangkah dengan cepat ke luar ruangan.
Sepeninggalan sang atasan yang terkenal galak itu, seluruh penghuni ruang rapat langsung bernapas lega. Tidak terkecuali Jennie.
"Pusing." Perempuan berpipi chubby itu menaruh kepalanya ke atas meja. "Dua bulan kedepan kita akan meng-handle lima acara. Aku senang, sih, karena EO kita semakin terkenal dan berkembang, tapi kalau begini terus, bisa-bisa aku lebih dulu mati karena kelelahan, sebelum menikah dengan Taeyong."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Valentines ✔️
Fanfiction[SELESAI] Tentang Jaehyun yang setengah mati menyembuhkan luka dan Chaeyoung yang berkali-kali menggariskan batasan. Lalu ada Rion yang hanya peduli dengan kodok peliharaannya. ------ Rating : R-18+ ------ Started : 04 April 2021 Complet...